Minggu, 22 September 2013

Pelukan Terakhir

- Di beranda ini, kicau-kicau tak kedengaran lagi.

Belakangan, saya tak lagi kerap menjamah lini masa. Bukan benar-benar tak pernah menjamah memang. Sesekali saya masih suka mengintip kicau-kicau yang bertebaran pada garis waktu paling dinamis di dalam dunia maya itu. Tetapi, hal itu cuma saya lakukan dalam tempo yang sekilas lalu. Juga dalam momentum yang, katakanlah, hanya sepenghabisan satu batang rokok saja. Sesekali belaka, juga tidak berlama-lama.

Padahal, jika diingat-ingat lagi, twitter pernah menjadi bagian yang tak terpisahkan daripada kehidupan. Ia telah menjelma jadi sebuah rutinitas. Sesuatu yang membuat kita enggan untuk meninggalkan, juga merasa bersalah apabila alpa menunaikan. Di dalam sesak bis kota, misalnya. Lalu pada guncangan mikrolet, di atas trotoar, di bangku taman dalam buaian angin. Juga di atas samudra, di tebing yang curam, sampai di atas meja makan walau cuma sejenak. Di mana pun berada, sulit rasanya untuk tidak menyempatkan diri melongok keadaan twitter. Membuka-buka tab mention, mengecek jumlah follower, atau sekedar menjentitkan jempol guna me-refresh linimasa supaya terbarui dengan kicau-kicau yang baru dirilis.