Kamis, 28 Februari 2013

Dia yang Tidak Pernah Kelihatan Tersenyum


Dia memang tidak pernah kelihatan tersenyum. Entah kepada rekan, teman, apalagi yang bukan kenalan. Bahkan, saat sekali dua ia harus menyunggingkan sebilah senyum pun, ia tidak pernah benar-benar kelihatan sedang tersenyum. Garis bibirnya tetap horizontal. Datar. Tidak berpendar.

Kepada beberapa teman sudah kutanyakan, dan jawaban yang didapat tetaplah sama: dia memang tidak pernah kelihatan tersenyum.

Sekali waktu pernah kuamati dia, lamat-lamat membaur di antara tawa yang berderai di sekelilingnya. Tapi tetap saja, bibir itu masih bergeming di postulatnya. Tak berkenan menyungging, walau aku tahu giginya tidaklah kuning. Atau bahkan seandainya giginya benar-benar kuning, pastilah bukan itu alasan kenapa dia tak mau memperlihatkan senyumnya. Ada sesuatu yang membuatnya urung melepaskan. Sesuatu yang, barangkali, tak pernah diketahui oleh banyak orang musababnya. Termasuk aku.

Senin, 18 Februari 2013

Berwisata

- Setelah #7HariMenulis tak ada lagi

Waktu kecil, saya bukanlah anak yang kelampau sering diajak orangtuanya berwisata. Orangtua saya hanya sekali dua mengajak saya berwisata. Itu pun, harus cermat-cermat menghitung sisa kas keluarga dahulu, sebelum palu kepastian keberangkatan resmi diketuk. Sering saya bersungut kepada mereka meminta diajak mengunjungi pasar malam, taman ria, kebun binatang, atau sekedar kongkow-kongkow di taman puring —bukan pasar barang murahnya— ber-selo ria memandangi luapan air mancurnya, sembari menunggu matahari tergelincir ke arah barat. Tapi kedua orangtua saya lebih sering tetap bergeming. Dan berwisata pun menjadi sedikit garib bagi saya dan keluarga.

Paling banter, kalau nasib sedang mujur, biasanya kakak-kakak sepupu saya lah yang akan mengajak saya berwisata. Itu juga, lebih sering hanya berakhir dengan jajan-jajan "Happy Meal" ke restoran cepat saji bermaskot badut yang bernama Ronald. Atau yang paling sering, ditinggal sendiri di bagian komik Gramedia Blok M, sementara kakak-kakak sepupu saya asyik berbelanja, berkeliling segala rupa toko busana yang ada di sana. Beberapa jam setelahnya, barulah mereka akan datang menghampiri saya, dengan beberapa kresek hasil belanjaan mereka, untuk mengajak saya pulang.

Rabu, 06 Februari 2013

Tabik

- tentang penulis yang adil sejak dalam pikiran, dan sebuah penutup.

Halo, Bung.

Saya benar-benar tak tahu bagaimana harus memulai tulisan yang hendak saya tujukan kepada anda ini. Saban kali saya berusaha keras memikirkan kata-kata yang hendak saya susun sebagai pembuka, ah tidak, bahkan saat saya baru mulai merabakan jari-jari di atas tuts keyboard pada komputer jinjing butut milik saya ini, bulu kuduk saya tiba-tiba mengkirik, akal pikir saya mendadak buntu, dan tentu saja — ini yang paling membikin saya takut untuk menulis kepada anda, Bung — saya seketika merasa malu. Sangat malu, bahkan. Siapalah saya ini berani-beraninya membuat tulisan kepada anda, Bung, sang maestro sastra Indonesia. Tapi seperti yang pernah anda tulis sendiri, Bung, bahwasanya menulis adalah sebuah keberanian, maka saya pun memberanikan diri untuk menulis ini, meski saya bukanlah siapa-siapa.

Selasa, 05 Februari 2013

Mendoan

- tentang kenangan manis, yang sukar direplikasi

Waktu itu hari sedang sore, saya tak ingat persisnya kapan,  saat saya tiba-tiba melempar sebuah pertanyaan ringkas kepada seorang senior saya di kantor.

"Mas Udin, beli mendoan yang enak deket-deket sini di mana ya? kok aku kepengen..."

Akhmad Arif Najamudin, begitu nama lengkap senior saya itu, kemudian menjelaskan panjang lebar mana-mana saja lokasi penjaja tempe mendoan yang bisa saya hampiri untuk menuntaskan keinginan saya melahap salah satu penganan favorit saya itu, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Pada waktu itu saya memang tengah mengidam-idamkan mendoan, dengan kadar yang boleh dibilang hampir memasuki stadium akhir. Mari salahkan keisengan saya melakukan perjalanan ke Purwokerto pada Oktober tahun silam, sebagai penyebab munculnya rasa ngidam tersebut. Sebab bagaimana tidak, ketika di Purwokerto, saya yang memang menggemari mendoan, seolah menemukan surga kecil yang tak akan bisa disangkal kenikmatannya. Mendoan yang saya temui di sana memang benar-benar lezat. Dari mulai yang dijajakan di warung-warung kopi, angkringan pinggir jalan, sampai dengan yang bertengger di atas meja rumah makan, atau restoran. Semua mendoan yang sempat saya cicipi di sana berasa lezat, dan tak pernah mengecewakan.

Senin, 04 Februari 2013

Surga

I have always imagined that Paradise will be a kind of library."- Jose Luis Borges
Belakangan, saya begitu jarang memasuki sebuah perpustakaan. Perpustakaan terakhir yang saya masuki, barangkali adalah perpustakaan kampus saya dulu yang terletak di belahan selatan Jakarta. Itupun, bukan demi meminjam buku-buku yang menarik, sekedar singgah buat membaca-baca, ataupun melakukan kroscek literasi untuk kepentingan akademis. Yang saya lakukan pada waktu itu hanyalah melakukan konsultasi sumir dengan seorang dosen pembimbing, yang kebetulan memilih untuk ditemui di perpustakaan, alih-alih menemuinya di rumah.

Kebersamaan saya dengan si perpustakaan pun tidak lama, setelah beberapa menit membolak-balik draft laporan saya, sekaligus memberikan wejangan di beberapa bagian, si dosen mengakhiri bimbingannya dengan tergesa-gesa, karena dikejar waktu untuk memberikan kuliah di salah satu kelas. Segera setelahnya, saya pun meninggalkan perpustakaan kampus saya itu juga dengan tergesa-gesa, hendak membetulkan beberapa bagian yang telah dicorat-coret oleh si dosen.

Dan sejak saat itu, boleh dibilang, saya tak pernah lagi memasuki perpustakaan. Saya lebih sering membaca buku di rumah, ataupun menumpang baca di toko buku.

Minggu, 03 Februari 2013

Jakarta Motor City


-tentang kendaraan di jalanan, yang memang menyebalkan

Saya pastikan, seberapa pun sabarnya anda sebagai seorang manusia, berkendara di tengiknya jalanan Jakarta sembari menjaga kepala tetap dingin adalah sesuatu yang tidak pernah mudah untuk dilakukan. Saking banyak dan bervariasinya rintangan-rintangan yang merintangi di sepanjang jalanan Jakarta, saya sampai-sampai selalu menganalogikan berkendara di Jakarta — utamanya dengan menggunakan sepeda motor — adalah sebelas dua belas dengan bermain video game Pepsiman.

Bagi anda yang masa kecilnya terlalu membosankan sampai-sampai tidak mengetahui ada permainan yang begitu menggemaskan namun membuat ketagihan seperti Pepsiman, saya akan jelaskan secara garis besarnya, khusus buat anda. Dikisahkan dalam game tersebut, Pepsiman adalah seorang superhero, atau mungkin lebih tepatnya manusia kurang kerjaan, yang rela menempuh perjalanan dari satu vending machine, yang menjual minuman kaleng Pepsi, ke vending machine lainnya dalam sebuah standar waktu minimum. Sialnya, perjalanan si manusia pepsi ini tidaklah lebih mudah daripada perjalanan Frodo Baggins menuju Mountain Doom. Dalam perjalanannya, selalu saja ada aral yang bakal menyulitkan superhero kita yang satu ini. Dari mulai lubang galian kabel, tebaran ranjau kulit pisang, ibu-ibu pembawa cucian yang menyeberang jalan, sampai dengan tong kosong yang menggelinding secara anarkis, entah dari mana asalnya. Semua itu adalah hal-hal yang harus selalu dihindari dengan sigap oleh pahlawan kurang kerjaan kita ini, supaya bisa sampai di tujuannya dengan selamat.

Sabtu, 02 Februari 2013

Katakanlah, Kencan

"Barangkali kita memang telah dikutuk," kataku mengutuki nasib di suatu sore yang busuk.

Lalu kamu menyahut dari ujung yang berlainan, "Apa maksudmu dengan kutukan? Aku tak pernah barang sekalipun dirapal dengan kelaknatan."

"Mungkin bukan kamu. Tidak pernah kamu. Tapi aku," kataku kemudian meralat.

Lalu aku mengingatkanmu tentang bagaimana aku pernah hampir, katakanlah, mengajakmu berkencan.

***

Sore itu, atau hampir sore lebih tepatnya, adalah sore yang cukup cerah untuk sebuah kesepakatan yang sudah dikulminasi sejak jauh-jauh hari. Setelah berkali-kali kita tak pernah, katakanlah, benar-benar berkencan. Tetapi malah bergantian meminta maaf sebagai ekses dari urungnya kesepakan kita untuk, katakanlah, berkencan. Katakanlah itu sebagai kencan yang gagal. Oleh sebab satu dan lain hal, yang selalu kamu sebut sebagai konspirasi semesta. Dan aku tak pernah suka memakai kata itu.

Jumat, 01 Februari 2013

Seperti Seharusnya : Air Bah Yang Dinanti-nanti dari Noah

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menuliskan, bahwa menikmati musik pop arus utama tanpa menghiraukan keberadaan Peterpan (sekarang Noah) dalam memetakan pergolakan yang telah, sedang, dan yang akan kejadian di dalamnya adalah sebuah kesalahan yang teramat besar. Barangkali saya kelampau berlebihan kala menuliskan hal tersebut, tapi barangkali juga tidak. Sebab kenyataannya, Ariel dan kawan-kawan memang, entah mengapa, selalu saja memperoleh jalan yang mulus untuk memeriahkan belantika musik pop Indonesia, lewat manuver-manuver yang mereka lakukan.

Bahkan meski sang frontman sempat tersandung skandal video mesum dan harus mendekam di balik bui selama dua tahun. Bahkan meski harus membuang nama Peterpan yang telah memberi mereka kebesaran dan ketenaran bertahun-tahun lamanya. Magis milik Ariel dan kawan-kawan, memang tak pernah luntur barang satu zarah sekalipun. Salah-salah, malah semakin mengkilap di mata fans-nya.

Segala muslihat yang dilakukan, antara lain lewat ekspos berlebihan awak infotainment jelang kebebasan sang vokalis, keluarnya buku biografi pertanda tandasnya nama lama Peterpan, serta gebrakan konser di 5 negara - 2 benua dalam rentang hanya 24 jam, adalah upaya glorifikasi yang benar-benar membuat kita tanpa sadar beriman dan dengan sangat khusyuk ikut menunggu-nunggu kembalinya band yang telah lama menghilang ini.