Minggu, 22 September 2013

Pelukan Terakhir

- Di beranda ini, kicau-kicau tak kedengaran lagi.

Belakangan, saya tak lagi kerap menjamah lini masa. Bukan benar-benar tak pernah menjamah memang. Sesekali saya masih suka mengintip kicau-kicau yang bertebaran pada garis waktu paling dinamis di dalam dunia maya itu. Tetapi, hal itu cuma saya lakukan dalam tempo yang sekilas lalu. Juga dalam momentum yang, katakanlah, hanya sepenghabisan satu batang rokok saja. Sesekali belaka, juga tidak berlama-lama.

Padahal, jika diingat-ingat lagi, twitter pernah menjadi bagian yang tak terpisahkan daripada kehidupan. Ia telah menjelma jadi sebuah rutinitas. Sesuatu yang membuat kita enggan untuk meninggalkan, juga merasa bersalah apabila alpa menunaikan. Di dalam sesak bis kota, misalnya. Lalu pada guncangan mikrolet, di atas trotoar, di bangku taman dalam buaian angin. Juga di atas samudra, di tebing yang curam, sampai di atas meja makan walau cuma sejenak. Di mana pun berada, sulit rasanya untuk tidak menyempatkan diri melongok keadaan twitter. Membuka-buka tab mention, mengecek jumlah follower, atau sekedar menjentitkan jempol guna me-refresh linimasa supaya terbarui dengan kicau-kicau yang baru dirilis.

Bagi beberapa orang, twitter bahkan telah menjadi komplementer yang sepadan bagi menenggak segelas air putih setelah bangun tidur, atau sekedar menyikat gigi di kamar mandi sebelum beranjak ke kasur pada malam hari. Ia adalah hal pertama yang ingin dilihat kala bola mata masih ngantuk-ngantuknya, juga hal terakhir yang ingin ditonton saat pupil sudah dalam keadaan ngantuk-ngantuknya.

Singkat kata, twitter telah benar-benar menelan separuh lebih waktu dalam kehidupan kita saya.

Seorang teman pernah mengatakan kalau twitter membuatnya kerap menerka-nerka, juga berprasangka.. Sementara kawan saya lain, menganggap twitter sebagai penawar daripada kesepian. Saya mengamini keduanya. Twitter memang bukan taman teduh yang melulu bertabur bunga-bunga indah. Terbatasnya jumlah karakter yang tersedia, membuat kata-kata yang digelar di sana kerap jadi ambigu, juga multitafsir. Ia bisa mewujud bidadari rupawan pembawa segelas penuh senyuman, namun bukan tak mungkin juga, ia datang merupa iblis buruk rupa penggenggam secawan penuh air ludah yang bacin.

Tetapi, lepas daripada itu semua, twitter memang sebuah keniscayaan yang mengenyahkan kesepian, seperti yang kawan saya tadi katakan. Pada saat kesepian coba datang memberi salam, kita tahu twitter selalu ada untuk dimintai pertolongan. Dan ia selalu datang, membawa berita-berita teranyar dengan kecepatan yang gegas, misalnya. Juga percakapan yang tak membosankan, atau tautan-tautan bacaan yang, katakanlah, mencerahkan. Pada twitter pula, kawan-kawan yang sudah tak berada dalam satu daratan yang sama dengan saya, atau dipisahkan dalam radius yang jauh kilometernya, bisa saling beranjangsana lagi seolah batang hidung kita cuma berjarak selemparan batu saja.

Jika kita memelintir sedikit lirik lagu milik Efek Rumah Kaca, sepertinya walau hanya dengan sebelah mata pun, kita bisa menyadari, kalau twitter adalah sebenar-benarnya teman setia dari waktu-waktu yang pernah hilang. Dan saya (pernah) benar-benar berteman baik dengannya.

***

Sejujurnya saya tak paham betul, apa yang melatar belakangi saya untuk menyingkir sejenak dari hiruk pikuk lini masa belakangan ini. Beberapa bulan terakhir saya kerap merasa twitter sudah tak asyik lagi buat diri saya. Sementara, di sisi lain, saya juga merasa kalau saya lah yang sudah tak asyik lagi bagi twitter. Atau mungkin saja saya memang tak pernah asyik bagi twitter, bagi siapapun juga. Atau mungkin saja saya sedang tak ingin menerka-nerka, tak ingin berprasangka. Atau mungkin juga karena saya sedang menikmati kesepian, sampai-sampai tak lagi memerlukan obat penawar. Entahlah mana yang benar.

Kemarin waktu saya menyempatkan diri membuka twitter lagi, untuk mencari tahu jawaban mana yang paling mendekati kebenaran, untuk dijadikan pembenaran.

Barangkali ini mirip seperti sepasang mantan kekasih yang sepakat berkencan lagi untuk yang terakhir kali, sebelum mereka benar-benar yakin untuk berpisah pada persimpangan jalan yang berbeda. Pada bangku taman, di bawah pohon Oak yang teduh dan besar, mereka berpelukan erat-erat dalam waktu yang cukup lama, hanya untuk memastikan satu hal: masih adakah getaran yang sama seperti yang mereka rasakan dulu ketika mereka pertama kali berpelukan. Dan ketika sama-sama sudah mengetahui jawabannya, mereka akan mengakhiri pelukan itu dengan saling menyeka air mata yang mencoba tumpah, lalu sama-sama tersenyum dengan canggung.

Kemudian mereka beranjak pulang, mengambil persimpangan jalannya masing-masing, tanpa pernah ada yang menoleh lagi ke belakang, satu sama lain.


Adios - Gale

3 komentar:

  1. Ada kalimat yang Morfem banget deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Morfem itu siapa? Aku ndak tahu. Tolong beri aku petunjuk tentang siapa mereka.

      Hapus