Selasa, 31 Desember 2013

Lima Buku yang Saya Baca di Tahun Ini

Jujur saja, sepanjang tahun 2013 ini saya tak begitu banyak membaca buku. Makanya, ketika kawan saya, sebutlah ia sebagai Gita Wiryawan, mengajak saya untuk membuat daftar pendek berisi lima judul buku terbaik yang saya baca di tahun ini, saya menjadi kelimpungan. Bukan saja karena sedikitnya judul buku yang berhasil saya selesaikan pada tahun ini, melainkan juga karena definisi "terbaik" di sini, yang kerap kali bias cum penuh embel-embel frase "menurut saya". Saya khawatir, jangan-jangan apa yang saya anggap terbaik, justru malah buku-buku yang dikategorikan kurang bagus, atau bahkan malah sama sekali tak layak terbit. Siapa yang tahu?

Akan tetapi saya memang tak pernah bisa menolak ajakan Gita. Ia adalah kawan yang baik, selain juga guru menulis yang menyenangkan. Tempo hari ia berulang tahun, dan saya tak sempat memberinya kado apa-apa selain sebuah ucapan selamat melalui sebuah pesan singkat. Padahal, waktu saya berulang tahun beberapa bulan silam, ia mau repot-repot mengirimi saya sebuah buku yang sudah lama saya cari-cari keberadaannya. Jika ikut menghitung hutang-hutang tulisan yang saya janjikan kepadanya belum kunjung terbayar, semakin menggunung saja rasa-rasanya dosa saya kepada Gita.

Syahdan, daftar pendek ini pun saya bikin. Selain sebagai sebuah tulisan penutup tahun untuk blog ini, tulisan ini juga hendak saya maksudkan sebagai hadiah kecil buat Gita, yang kemarin waktu berulang tahun. Hitung-hitung sebagai sedikit penebus dosa, juga hutang-hutang tulisan yang tak sempat saya lunasi bahkan hingga tahun kadung berganti. Yah, walaupun sangat terlambat, semoga di sela-sela kesibukannya berkampanye di lini masa, juga kejenuhannya bersemuka dengan kertas kuning bertajuk LPAD, Gita masih mau meluangkan beberapa menit dari kehidupannya untuk sekedar membaca tulisan ini dan memberikan amnestinya buat saya.

Jumat, 01 November 2013

Untukmu, yang Tak Lama Lagi Bakal Pergi

- Sepucuk surat yang tak seperlunya ikut kamu kemasi ke dalam koper

Kudengar, tak lama lagi kamu bakal pergi dari sini. Meninggalkan kota ini. Meninggalkan meja, kursi, dan juga almari yang biasa menemanimu bekerja sehari-hari. Meninggalkan petak kosong tempat parkir di sebelah timur, yang biasa kamu tempati untuk memarkir motor kesayanganmu. Meninggalkan apa saja yang sudah kamu jalani selama bertahun-tahun di kota kecil ini. Meninggalkan kami semua di sini.

Orang-orang bilang, kamu bukannya sudah tak betah lagi berada di sini. Mereka bilang kamu pergi bukan karena ingin melarikan diri. Mereka bilang kamu bukannya mulai membenci kota yang tak terlalu ramai ini. Mereka bilang kamu pergi untuk mengejar. Mengejar harapan, juga mengejar kebahagiaan.

Tentu saja, itu adalah hal yang wajar untuk dimengerti. Kebahagiaan memang layak untuk diperjuangkan, pun untuk dikejar.

Minggu, 20 Oktober 2013

Tabungan

Seringkali,
rindu seperti puisi yang tiba-tiba berhenti
karena tak tahu bagaimana cara melanjutkan
atau harus menulis apa lagi

Sialnya,
jarak adalah saudagar yang sukar ditawar
sebab ia menyukai kesabaran
juga rasa sedih yang gemar berkelakar

Padahal,
tangis hanya boleh milik seorang ibu
lantaran pamit seorang anak
yang hendak pergi lagi
ke dalam pelukan semang yang remang

Pesan Beliau, "lebih baik uangmu kau tabung saja,"
tapi anaknya tidak pernah bilang iya.


~ 20 Okt 2013, menabung rindu sekali lagi.

Adios - Gale

Minggu, 22 September 2013

Pelukan Terakhir

- Di beranda ini, kicau-kicau tak kedengaran lagi.

Belakangan, saya tak lagi kerap menjamah lini masa. Bukan benar-benar tak pernah menjamah memang. Sesekali saya masih suka mengintip kicau-kicau yang bertebaran pada garis waktu paling dinamis di dalam dunia maya itu. Tetapi, hal itu cuma saya lakukan dalam tempo yang sekilas lalu. Juga dalam momentum yang, katakanlah, hanya sepenghabisan satu batang rokok saja. Sesekali belaka, juga tidak berlama-lama.

Padahal, jika diingat-ingat lagi, twitter pernah menjadi bagian yang tak terpisahkan daripada kehidupan. Ia telah menjelma jadi sebuah rutinitas. Sesuatu yang membuat kita enggan untuk meninggalkan, juga merasa bersalah apabila alpa menunaikan. Di dalam sesak bis kota, misalnya. Lalu pada guncangan mikrolet, di atas trotoar, di bangku taman dalam buaian angin. Juga di atas samudra, di tebing yang curam, sampai di atas meja makan walau cuma sejenak. Di mana pun berada, sulit rasanya untuk tidak menyempatkan diri melongok keadaan twitter. Membuka-buka tab mention, mengecek jumlah follower, atau sekedar menjentitkan jempol guna me-refresh linimasa supaya terbarui dengan kicau-kicau yang baru dirilis.

Minggu, 25 Agustus 2013

Di Bandara



- Waktu jalan (denganmu), aku tidak tahu apa nasib waktu

Sayangku, kamu tahu, malam ini seharusnya jadi malam yang biasa saja buat kita berdua. Kita tidak sedang berjalan lebih jauh, ke entah berantah, seperti dikisahkan dalam irama liris milik Banda Neira. Kita juga tidak sedang berdua menuju ruang hampa seperti lagu yang Efek Rumah Kaca biasa senandungkan. Dan kita bukan pula tengah berniat menjadi sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa, sebagaimana Frau memberi nama buat lagunya yang termahsyur itu.

Sama sekali tidak.

Selasa, 30 Juli 2013

Hari Raya, Pemain Sepakbola, dan Status Facebook Mereka


Hari Raya Idul Fitri akan segera tiba, dan seluruh dunia pun tengah bersiap menyambut kedatangannya. Tak terkecuali dengan para insan sepakbola yang budiman dan rajin berdandan. Mereka —baik yang menganut ajaran Islam maupun tidak— sama-sama antusias menyambut datangnya hari akbar yang maha suci ini.

Atas nama eksistensi di dunia maya, pencitraan diri yang mumpuni, serta toleransi antar umat beragama, tak sedikit dari mereka yang mem-posting antusiasme mereka dalam menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri, melalui akun Facebook mereka. Dan berikut ini adalah beberapa status facebook terkini dari para insan sepakbola dari seluruh penjuru semesta, sebagaimana saya kutip langsung dari sumbernya, tanpa tedeng aling-aling. Check it out!

Sabtu, 27 Juli 2013

Tiga Bulan : (bukan) Sebuah Ode

Hidup memang senantiasa berubah. Ia bukalah bus Transjakarta yang melaju statis dalam lintasan koridornya yang linear. Kadang-kadang, ia berubah secara pelan-pelan, lamat-lamat, secuil barang secuil. Tapi tidak jarang juga ia berganti rupa secara mendadak, seketika, dan tiba-tiba. Jauh lebih instan daripada perubahan wujud Power Rangers, ataupun status relationship Aurel Hermansyah.

Karena itulah, teruntuk jenis transisi kehidupan yang disebut terakhir itu, saya pikir, setiap manusia yang beruntung mengalaminya, pasti bakal merasakan kegamangan yang penuh seluruh ketika menjalani pelbagai macam distorsi dan perbedaan kehidupan yang terpampang di hadapannya. Tak perlu jauh-jauh bertanya kepada kerabat maupun handai taulan perihal bagaimana rasanya bersemuka dengan hal tersebut. Sebab saya, belum lama ini mengalaminya.

***

Tiga bulan yang lalu, saya mungkin tak pernah berpikir akan berada di tempat saya berada —tempat saya mengetik tulisan ini— sekarang. Ah, jangankan memikirkan, membayangkannya pun saya tak kuasa.

Jumat, 01 Maret 2013

Niskala Akhir Pekan

( I )
pagi telah menelan
sebagian dari bekal kehidupan
tapi kotak-kotak kaca ini tetap saja benda mati
begitu juga aksara-angka di dalamnya

citra-suara masihlah semu
kecuali satu,

lindapnya isi kepala
serta kantung metafora
yang dibredel secara waskita

apa iya mau begitu saja,
sampai usiamu lewat purna?

( II )
barangkali,
pemuda itu sudah lama mati
setelah digantung berkalang hari

di tengah-tengah ruang hampa
di antara tanda tanya,
yang besar menganga

sampai akhirnya suara itu tiba

"aku tak sudi dijadikan robot!"
lalu tali gantungan itu merosot


~ 1 Mar 2013, menunggu datangnya akhir pekan, dan juga tanggal gajian.

Adios - Gale

Kamis, 28 Februari 2013

Dia yang Tidak Pernah Kelihatan Tersenyum


Dia memang tidak pernah kelihatan tersenyum. Entah kepada rekan, teman, apalagi yang bukan kenalan. Bahkan, saat sekali dua ia harus menyunggingkan sebilah senyum pun, ia tidak pernah benar-benar kelihatan sedang tersenyum. Garis bibirnya tetap horizontal. Datar. Tidak berpendar.

Kepada beberapa teman sudah kutanyakan, dan jawaban yang didapat tetaplah sama: dia memang tidak pernah kelihatan tersenyum.

Sekali waktu pernah kuamati dia, lamat-lamat membaur di antara tawa yang berderai di sekelilingnya. Tapi tetap saja, bibir itu masih bergeming di postulatnya. Tak berkenan menyungging, walau aku tahu giginya tidaklah kuning. Atau bahkan seandainya giginya benar-benar kuning, pastilah bukan itu alasan kenapa dia tak mau memperlihatkan senyumnya. Ada sesuatu yang membuatnya urung melepaskan. Sesuatu yang, barangkali, tak pernah diketahui oleh banyak orang musababnya. Termasuk aku.

Senin, 18 Februari 2013

Berwisata

- Setelah #7HariMenulis tak ada lagi

Waktu kecil, saya bukanlah anak yang kelampau sering diajak orangtuanya berwisata. Orangtua saya hanya sekali dua mengajak saya berwisata. Itu pun, harus cermat-cermat menghitung sisa kas keluarga dahulu, sebelum palu kepastian keberangkatan resmi diketuk. Sering saya bersungut kepada mereka meminta diajak mengunjungi pasar malam, taman ria, kebun binatang, atau sekedar kongkow-kongkow di taman puring —bukan pasar barang murahnya— ber-selo ria memandangi luapan air mancurnya, sembari menunggu matahari tergelincir ke arah barat. Tapi kedua orangtua saya lebih sering tetap bergeming. Dan berwisata pun menjadi sedikit garib bagi saya dan keluarga.

Paling banter, kalau nasib sedang mujur, biasanya kakak-kakak sepupu saya lah yang akan mengajak saya berwisata. Itu juga, lebih sering hanya berakhir dengan jajan-jajan "Happy Meal" ke restoran cepat saji bermaskot badut yang bernama Ronald. Atau yang paling sering, ditinggal sendiri di bagian komik Gramedia Blok M, sementara kakak-kakak sepupu saya asyik berbelanja, berkeliling segala rupa toko busana yang ada di sana. Beberapa jam setelahnya, barulah mereka akan datang menghampiri saya, dengan beberapa kresek hasil belanjaan mereka, untuk mengajak saya pulang.

Rabu, 06 Februari 2013

Tabik

- tentang penulis yang adil sejak dalam pikiran, dan sebuah penutup.

Halo, Bung.

Saya benar-benar tak tahu bagaimana harus memulai tulisan yang hendak saya tujukan kepada anda ini. Saban kali saya berusaha keras memikirkan kata-kata yang hendak saya susun sebagai pembuka, ah tidak, bahkan saat saya baru mulai merabakan jari-jari di atas tuts keyboard pada komputer jinjing butut milik saya ini, bulu kuduk saya tiba-tiba mengkirik, akal pikir saya mendadak buntu, dan tentu saja — ini yang paling membikin saya takut untuk menulis kepada anda, Bung — saya seketika merasa malu. Sangat malu, bahkan. Siapalah saya ini berani-beraninya membuat tulisan kepada anda, Bung, sang maestro sastra Indonesia. Tapi seperti yang pernah anda tulis sendiri, Bung, bahwasanya menulis adalah sebuah keberanian, maka saya pun memberanikan diri untuk menulis ini, meski saya bukanlah siapa-siapa.

Selasa, 05 Februari 2013

Mendoan

- tentang kenangan manis, yang sukar direplikasi

Waktu itu hari sedang sore, saya tak ingat persisnya kapan,  saat saya tiba-tiba melempar sebuah pertanyaan ringkas kepada seorang senior saya di kantor.

"Mas Udin, beli mendoan yang enak deket-deket sini di mana ya? kok aku kepengen..."

Akhmad Arif Najamudin, begitu nama lengkap senior saya itu, kemudian menjelaskan panjang lebar mana-mana saja lokasi penjaja tempe mendoan yang bisa saya hampiri untuk menuntaskan keinginan saya melahap salah satu penganan favorit saya itu, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Pada waktu itu saya memang tengah mengidam-idamkan mendoan, dengan kadar yang boleh dibilang hampir memasuki stadium akhir. Mari salahkan keisengan saya melakukan perjalanan ke Purwokerto pada Oktober tahun silam, sebagai penyebab munculnya rasa ngidam tersebut. Sebab bagaimana tidak, ketika di Purwokerto, saya yang memang menggemari mendoan, seolah menemukan surga kecil yang tak akan bisa disangkal kenikmatannya. Mendoan yang saya temui di sana memang benar-benar lezat. Dari mulai yang dijajakan di warung-warung kopi, angkringan pinggir jalan, sampai dengan yang bertengger di atas meja rumah makan, atau restoran. Semua mendoan yang sempat saya cicipi di sana berasa lezat, dan tak pernah mengecewakan.

Senin, 04 Februari 2013

Surga

I have always imagined that Paradise will be a kind of library."- Jose Luis Borges
Belakangan, saya begitu jarang memasuki sebuah perpustakaan. Perpustakaan terakhir yang saya masuki, barangkali adalah perpustakaan kampus saya dulu yang terletak di belahan selatan Jakarta. Itupun, bukan demi meminjam buku-buku yang menarik, sekedar singgah buat membaca-baca, ataupun melakukan kroscek literasi untuk kepentingan akademis. Yang saya lakukan pada waktu itu hanyalah melakukan konsultasi sumir dengan seorang dosen pembimbing, yang kebetulan memilih untuk ditemui di perpustakaan, alih-alih menemuinya di rumah.

Kebersamaan saya dengan si perpustakaan pun tidak lama, setelah beberapa menit membolak-balik draft laporan saya, sekaligus memberikan wejangan di beberapa bagian, si dosen mengakhiri bimbingannya dengan tergesa-gesa, karena dikejar waktu untuk memberikan kuliah di salah satu kelas. Segera setelahnya, saya pun meninggalkan perpustakaan kampus saya itu juga dengan tergesa-gesa, hendak membetulkan beberapa bagian yang telah dicorat-coret oleh si dosen.

Dan sejak saat itu, boleh dibilang, saya tak pernah lagi memasuki perpustakaan. Saya lebih sering membaca buku di rumah, ataupun menumpang baca di toko buku.

Minggu, 03 Februari 2013

Jakarta Motor City


-tentang kendaraan di jalanan, yang memang menyebalkan

Saya pastikan, seberapa pun sabarnya anda sebagai seorang manusia, berkendara di tengiknya jalanan Jakarta sembari menjaga kepala tetap dingin adalah sesuatu yang tidak pernah mudah untuk dilakukan. Saking banyak dan bervariasinya rintangan-rintangan yang merintangi di sepanjang jalanan Jakarta, saya sampai-sampai selalu menganalogikan berkendara di Jakarta — utamanya dengan menggunakan sepeda motor — adalah sebelas dua belas dengan bermain video game Pepsiman.

Bagi anda yang masa kecilnya terlalu membosankan sampai-sampai tidak mengetahui ada permainan yang begitu menggemaskan namun membuat ketagihan seperti Pepsiman, saya akan jelaskan secara garis besarnya, khusus buat anda. Dikisahkan dalam game tersebut, Pepsiman adalah seorang superhero, atau mungkin lebih tepatnya manusia kurang kerjaan, yang rela menempuh perjalanan dari satu vending machine, yang menjual minuman kaleng Pepsi, ke vending machine lainnya dalam sebuah standar waktu minimum. Sialnya, perjalanan si manusia pepsi ini tidaklah lebih mudah daripada perjalanan Frodo Baggins menuju Mountain Doom. Dalam perjalanannya, selalu saja ada aral yang bakal menyulitkan superhero kita yang satu ini. Dari mulai lubang galian kabel, tebaran ranjau kulit pisang, ibu-ibu pembawa cucian yang menyeberang jalan, sampai dengan tong kosong yang menggelinding secara anarkis, entah dari mana asalnya. Semua itu adalah hal-hal yang harus selalu dihindari dengan sigap oleh pahlawan kurang kerjaan kita ini, supaya bisa sampai di tujuannya dengan selamat.

Sabtu, 02 Februari 2013

Katakanlah, Kencan

"Barangkali kita memang telah dikutuk," kataku mengutuki nasib di suatu sore yang busuk.

Lalu kamu menyahut dari ujung yang berlainan, "Apa maksudmu dengan kutukan? Aku tak pernah barang sekalipun dirapal dengan kelaknatan."

"Mungkin bukan kamu. Tidak pernah kamu. Tapi aku," kataku kemudian meralat.

Lalu aku mengingatkanmu tentang bagaimana aku pernah hampir, katakanlah, mengajakmu berkencan.

***

Sore itu, atau hampir sore lebih tepatnya, adalah sore yang cukup cerah untuk sebuah kesepakatan yang sudah dikulminasi sejak jauh-jauh hari. Setelah berkali-kali kita tak pernah, katakanlah, benar-benar berkencan. Tetapi malah bergantian meminta maaf sebagai ekses dari urungnya kesepakan kita untuk, katakanlah, berkencan. Katakanlah itu sebagai kencan yang gagal. Oleh sebab satu dan lain hal, yang selalu kamu sebut sebagai konspirasi semesta. Dan aku tak pernah suka memakai kata itu.

Jumat, 01 Februari 2013

Seperti Seharusnya : Air Bah Yang Dinanti-nanti dari Noah

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menuliskan, bahwa menikmati musik pop arus utama tanpa menghiraukan keberadaan Peterpan (sekarang Noah) dalam memetakan pergolakan yang telah, sedang, dan yang akan kejadian di dalamnya adalah sebuah kesalahan yang teramat besar. Barangkali saya kelampau berlebihan kala menuliskan hal tersebut, tapi barangkali juga tidak. Sebab kenyataannya, Ariel dan kawan-kawan memang, entah mengapa, selalu saja memperoleh jalan yang mulus untuk memeriahkan belantika musik pop Indonesia, lewat manuver-manuver yang mereka lakukan.

Bahkan meski sang frontman sempat tersandung skandal video mesum dan harus mendekam di balik bui selama dua tahun. Bahkan meski harus membuang nama Peterpan yang telah memberi mereka kebesaran dan ketenaran bertahun-tahun lamanya. Magis milik Ariel dan kawan-kawan, memang tak pernah luntur barang satu zarah sekalipun. Salah-salah, malah semakin mengkilap di mata fans-nya.

Segala muslihat yang dilakukan, antara lain lewat ekspos berlebihan awak infotainment jelang kebebasan sang vokalis, keluarnya buku biografi pertanda tandasnya nama lama Peterpan, serta gebrakan konser di 5 negara - 2 benua dalam rentang hanya 24 jam, adalah upaya glorifikasi yang benar-benar membuat kita tanpa sadar beriman dan dengan sangat khusyuk ikut menunggu-nunggu kembalinya band yang telah lama menghilang ini.

Kamis, 31 Januari 2013

Sambat

-tentang keluhan, dan hal-hal yang belum selesai

Entah sudah keberapa kali saya harus membuka tulisan saya dengan sebuah keluhan. Kali ini pun tidak jauh beda, bahkan melulu sebuah repetisi. Ini lagi-lagi tentang pekerjaan. Lebih tepatnya tentang pekerjaan yang tidak pernah habis-habis dan selalu datang lagi, bahkan saat pekerjaan yang lama belum rampung disentuh separuhnya.

Kita semua tahu, bekerja itu memang kadang-kadang membosankan. Dan saya seringkali mengeluh karena itu. Barangkali apa yang saya lakukan itu —mengeluh tentang pekerjaan— adalah sebuah fallacy yang maha menggelikan bagi seorang pekerja seperti saya, dan mungkin juga untuk anda. Tapi bukankah mengeluh adalah sebuah fundamen yang melekat pada seorang manusia sejak ia dilahirkan?

Minggu, 27 Januari 2013

Tribune View : Macan Mulai Bergigi, Persija Jakarta 1 - 0 PSPS Pekanbaru (Indonesian Super League)


Barangkali sudah jadi tradisi bagi Persija Jakarta untuk selalu bermasalah dalam soal non teknis saban menjelang musim bergulir, setidaknya jika kita merunut dua atau tiga tahun ke belakang. Jika di tahun-tahun sebelumnya tim kebanggaan ibukota ini selalu dirongrong problem dualisme tim dengan Jakarta FC 1928 — kesebelasan antah berantah yang tiba-tiba saja mengklaim diri sebagai Persija yang paling hakiki, sebelum akhirnya divonis palsu dengan dimenangkannya Persija Jakarta versi Ferry Paulus lewat proses pengadilan —  untuk tahun ini, isu non teknis yang muncul tak kalah pelik : boikot oleh pemain.

Selasa, 01 Januari 2013

Setahun Kemarin

Ia telah lewat. Ia telah berakhir.

Semalam, 2012 telah menyelesaikan tugasnya, menemani kehidupan manusia selama setahun kalender penuh. Banyak hal terjadi di sepanjang 2012, dan bagi saya, 2012 boleh dibilang adalah tahun yang tak begitu menyenangkan. Ada banyak kekecewaan di sepanjang 2012, meskipun tidak sedikit juga senyum-senyum kegembiraan yang menyempal dari dalam tanah di sepanjang 2012.

Tapi 2012 adalah fase dimana kekecewaan memang terasa begitu akrab dengan kehidupan. Mungkin karena selama ini jarang dikecewakan, maka begitu kekecewaan datang menghantam, pun dengan intensitas yang bertub-tubi, saya jadi gamang. Saya lupa kalau sebagai manusia, setiap kali kita berharap, kita harus selalu siap untuk dikecewakan. Dan begitulah yang kejadian.