Jumat, 01 November 2013

Untukmu, yang Tak Lama Lagi Bakal Pergi

- Sepucuk surat yang tak seperlunya ikut kamu kemasi ke dalam koper

Kudengar, tak lama lagi kamu bakal pergi dari sini. Meninggalkan kota ini. Meninggalkan meja, kursi, dan juga almari yang biasa menemanimu bekerja sehari-hari. Meninggalkan petak kosong tempat parkir di sebelah timur, yang biasa kamu tempati untuk memarkir motor kesayanganmu. Meninggalkan apa saja yang sudah kamu jalani selama bertahun-tahun di kota kecil ini. Meninggalkan kami semua di sini.

Orang-orang bilang, kamu bukannya sudah tak betah lagi berada di sini. Mereka bilang kamu pergi bukan karena ingin melarikan diri. Mereka bilang kamu bukannya mulai membenci kota yang tak terlalu ramai ini. Mereka bilang kamu pergi untuk mengejar. Mengejar harapan, juga mengejar kebahagiaan.

Tentu saja, itu adalah hal yang wajar untuk dimengerti. Kebahagiaan memang layak untuk diperjuangkan, pun untuk dikejar.

Dulu kamu pernah bilang, bahwa kamu mungkin akan menyerah jika terus menerus berhadapan dengan jarak. Sesuatu yang terus berkelindan di antara kebahagiaan yang kamu tuju, dengan kota kecil ini yang, katakanlah, terpaksa kamu tempati selama beberapa tahun ke belakang, karena titah dari mereka yang berkuasa. Maka kamu mengambil keputusan, juga menyusun rencana yang matang, untuk memangkas jarak tersebut sampai habis. Selapis demi selapis, supaya kamu semakin dekat dengan kebahagiaan yang kamu ingini. Kebahagiaan yang memang jika kamu melihatnya dari kota ini sekarang, akan terlihat cukup jauh, seperti ufuk di ujung langit.

Menurutku, jarak memang seringkali menyebalkan untuk dihadapi. Ia adalah musuh yang betul-betul kurang ajar, utamanya untuk sesuatu yang orang biasa sebut dengan rindu. Tetapi, jarak seringkali bukan melulu tentang angka-angka yang eksak dan nyata,  yang mengukur seberapa jauh rumpang semesta yang berada di antara dua buah titik pijak. Kadang-kadang, jarak tidak selalu tentang jauh atau dekat. Bukankah masih banyak manusia-manusia yang merasa begitu terpisahkan dengan manusia yang lain, padahal jarak di antara mereka sebenarnya begitu dekat?

Aku rasa, pertempuran dengan jarak yang seperti itu adalah sebenar-benarnya penyiksaan yang pedih. Masih adakah yang lebih hampa daripada menjalani sebuah kehidupan dimana kamu bisa berjalan di koridor yang sama dengan orang yang kamu sayangi, berteduh di dalam ruang yang seatap dengan orang kamu kagumi, serta nyaris setiap hari bertemu orang yang paling ingin kamu peluk tapi tak pernah bisa sedikit pun menjangkaunya? Aku pikir keadaan yang seperti itu jauh lebih menyakitkan ketimbang pertempuran dengan jarak yang kini kau alami.

Tetapi itu tidaklah penting lagi sekarang, sebab tidak lama lagi kamu akan pergi dari sini. Kini kamu telah dekat. Jarak yang berselang antara dirimu dan kebahagiaan sudah tak lagi hebat. Jika kuambil meteran di laci untuk mengukurnya, barangkali kini ia cuma berkisar satu dua jengkal saja. Atau jika boleh sekedar kutebak-tebak, pastilah ia sudah tak lebih jauh daripada selemparan batu belaka. Dan keberangkatanmu dari kota ini, adalah sesuatu yang bakal menuntaskan jarak yang remeh itu.

Kamu mungkin masih ingat dengan Pramoedya, yang menulis soal kekekalan ufuk dan jarak. Kata beliau, apa yang ada di hadapan manusia hanyalah jarak dan ufuk. Saban kali jarak coba ditempuh, sang ufuk selalu menjauh lagi. Padahal, apa saja yang telah tertinggal di belakang, setelah kamu coba mengejar ufuk, juga bakal mencipta sebuah jarak. Makanya, jarak dan ufuk, menurut Bung Pram, adalah unsur yang abadi juga sulit untuk ditaklukan. Bahkan oleh romantika yang seperti apapun juga.

Aku memang tidak begitu paham, bagaimana keadaan ufuk yang kamu pancang sebagai titik tuju sekarang. Tetapi jika kamu memang benar-benar telah memutuskan perihal hari keberangkatan, kuharap ufuk yang sedang kamu kejar tidaklah menjauh lagi, seperti apa yang dibilang Bung Pram lewat tulisannya itu. Sebab semakin kamu berhasil mendekati ufuk yang kamu tuju, semakin tidak sia-sia jarak yang akan kamu cipta dengan apa saja yang telah kamu tinggalkan di belakang. Dengan kota ini; Dengan meja, kursi, juga almari yang biasa menemanimu bekerja sehari-hari; Dengan petak kosong di sebelah timur, yang biasa kamu tempati untuk memarkir kendaraanmu; Dan tentu saja, dengan kami semua yang ada di sini.

Sungguh tidak ada yang salah dengan mencoba menempuh jarak, pun juga dengan mengejar ufuk. Seperti kataku tadi, kebahagiaan adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan, pun untuk dikejar. Kelak, jika kamu telah bersemuka dengannya, dengan kebahagiaan yang kamu mau, kamu mungkin akan lupa dengan apa saja yang telah kamu tinggalkan di kota ini. Akan tetapi, jika saja kamu gagal menemukannya— ah, semoga saja tidak— kamu tahu yang perlu kamu lakukan cuma satu: menyusuri lagi remah-remah roti yang kamu tinggalkan di sepanjang perjalananmu menempuh ufuk, untuk menemukan lagi jalanmu kembali ke sini. Sebab, kamu tentu juga sudah tahu, bahwa kota kecil yang tak terlalu ramai ini, bersama dengan orang-orang yang ada di dalamnya, adalah ufuk yang tak akan pernah mencoba menjauh, setiap kali kamu coba menuju kepadanya.

Selamat berkemas-kemas, kamu yang tak lama lagi bakal pergi. Semoga perjalananmu menyenangkan.

Adios - Gale

Tidak ada komentar:

Posting Komentar