Kamis, 20 Februari 2014

Apa yang Seharusnya Kuceritakan, Saat Aku Menceritakan Tentang Sebuah Cerita yang Tak Pernah Bisa Kuceritakan

Biar kuceritakan padamu sedikit hal, kawan. Tentang sesuatu yang sebetulnya menyedihkan, tapi di sisi lain juga bisa membuatmu menghela nafas dengan malas sambil bersendawa: "Ya Tuhan, begitu saja ternyata. Kukira ini cerita tentang apa."

Tetapi agar ceritaku tak seperti cerita yang menyedihkan pada umumnya, biarlah kubuka ceritaku kali ini dengan sedikit kalimat-kalimat narasi yang panjang dan lebar, namun tanpa unsur yang tinggi-tinggi. Sebab tentu saja, ini bukanlah rumus untuk menghitung volume sebuah kubus ataupun balok. Ini adalah sebuah cerita, tentang sebuah cerita yang tidak pernah bisa kuselesaikan, bahkan sampai dengan saat engkau selesai membaca kalimat ini, dari manapun kau membacanya.

Kau tahu, kawan, sebetulnya aku tak pandai-pandai betul dalam menulis. Menulis sejatinya baru-baru ini saja kuselami palung-palungnya. Itupun, hanya kulakukan pada kedalaman yang tak sedalam selokan di pinggir jalan. Itupun lagi, hanya dengan perbekalan yang cukup lengkap berupa ketidaktahuan tentang bagaimana cara bernafas di dalam air, tanpa bantuan insang ataupun tabung oksigen.
 
Jika saja engkau kemudian membanding-bandingkannya dengan milik kawan-kawanku yang berpunya tulisan adiluhung itu, apalagi dengan milik begawan-begawan sastra yang termahsyur, tentu engkau akan dengan segera menemukan betapa nahasnya rangkaian kata-kata yang kupunya ini berbanding dengan milik mereka.
 
Sampai di sini sudahkah apa yang kutulis ini terasa menyedihkan?
Jika belum, mari kuajak engkau mengingat lagi bahwa aku adalah seorang yang mudah lupa dengan apa yang sebetulnya ingin kutulis. Ini kerap kejadian saban kali aku hendak menulis tentang seseorang yang kusayang. Dan entah bagaimana caranya, kali ini pun sepertinya tak akan jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Sebab begitu tulisanku sampai pada paragraf ini, tiba-tiba saja aku lupa pada apa hendak aku tulis. Kok bisa begitu? Aku pun tidak tahu.

Tetapi biarlah. Biar kuingat-ingat lagi seorang diri, perlahan-lahan, tentang bagaimana awal mula dari cerita yang ingin kuceritakan ini. Dan engkau, kawanku, dan kalian yang kebetulan saja membaca tulisan ini karena mungkin penasaran, dan juga mungkin saja malaikat-malaikat yang kebetulan lewat di sebelah kalian ketika kalian membaca tulisan ini, sudah sepatutnya tidak ikut repot dengan kuminta membantuku mengingat-ingat lagi apa yang sebetulnya hendak aku tulis di sini. Memangnya yang jadi penulis itu siapa? Aku kan?
 
Tetapi kupikir kalian hari ini sedang beruntung, atau malah sungguh-sungguh sedang beruntung. Sebab aku memutuskan kalau cerita ini akan tetap kuteruskan. Dan jika kubilang bahwa cerita ini akan kuteruskan, itu berarti segera setelah kalimat yang kutulis ini sampai pada sebuah tanda baca yang berupa titik, aku sudah mampu mengingat lagi cerita yang ingin kuceritakan ini.
 
Apa kalian sudah siap?
 
Cerita ini dimulai dengan awalan yang sesungguhnya biasa-biasa saja. Makanya, aku sengaja membuka cerita ini dengan sedikit kalimat-kalimat narasi yang panjang lebar seperti di atas, supaya cerita ini memiliki awalan yang sedikit tidak biasa.
 
Syahdan, awal dari semua ini adalah ketika aku bertemu gadis itu, yang menurutku sangat cantik sekali, di sebuah ruangan berpetak persegi, yang biasa disebut dengan kelas. Itu adalah sebuah kelas yang benar-benar baru, seingatku. Semua bocah yang berada di dalamnya kuduga tidak saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Hal itu bisa kusimpulkan dari perasaan begitu terasing yang kurasakan, selama menjalani sepuluh menit pertama berada di sana. Sekeras apapun aku mencoba mencari wajah-wajah yang mungkin kukenal, semakin aku merasa seorang diri di dalam sana.
 
Dan pada saat mencari-cari seseorang yang mungkin kukenal, atau barangkali jika ada seseorang yang mengenalku itulah, aku menemukan gadis itu. Ia duduk di bangku terdepan, banjar nomor tiga. Satu meja dengan seorang gadis lain yang sudah tak begitu kupedulikan lagi seperti apa mukanya. Sebab pada detik itu juga, aku mendadak berubah menjadi makhluk monodimensional yang cuma bisa mengarahkan pandangan kepada satu titik saja, dan diam di sana untuk waktu yang cukup lama.
 
Kau tahu kawan, walaupun kau sebut kecantikan adalah sesuatu yang bersifat relatif, kupikir pelupuk matamu perlu diolesi dengan onak berduri jika kau tak menyebut gadisku itu sebagai perempuan yang cantik. Kalau aku sendiri sih, andai pelupuk mataku diolesi dengan onak berduri ataupun bara api yang diambil dari dalam sekam sekalipun, ia masihlah akan terlihat begitu menawan di mataku.
 
Dan sungguh, aku layak merasa beruntung, sebab yang bersarang di pelupuk mataku pada waktu itu bukanlah onak berduri. Bukan juga bara api yang panas membara, yang diambil dari dalam sekam. Adalah kecantikan gadis itu yang kemudian bersarang di dalam sana, dan beranak pinak hingga ke keturunannya yang aku pun lupa sudah sampai pada nomor berapa sekarang.
 
Dan jika kau, kawanku, mulai merasa apa yang kutulis ini semakin mirip dengan narasi opera sabun, aku tak akan terlalu ambil pusing. Aku masih akan tetap meneruskan cerita ini, sekalipun kau memutuskan untuk berhenti membacanya sampai di sini saja.

Mumpung ingatanku sedang tidak bersendawa tiba-tiba, dan membuatku kembali lupa pada apa yang ingin aku tulis di sini, akan kulanjutkan saja cerita ini, sekalipun nanti engkau akan tertidur dengan pulas, sebelum kau sempat sampai pada paragrafku yang terakhir. Atas nama persahabatan, akan kumaklumi hal itu, kawan.
 
Maka setahun pun berlalu. Dua tahun juga berlalu. Dan tiga tahun juga hampir saja berlalu sejak perjumpaanku dengan gadis itu di kelas. Gadis itu sekarang bukan lagi sosok asing yang kupandang lama-lama ketika ia menekuk lesung pipitnya sambil tersenyum di bangku paling depan. Ia juga bukan lagi gadis berkacamata kecil yang tak kuketahui siapa namanya. Tentu saja, sepanjang dua tahun yang hampir tiga tahun ini pastilah banyak kejadian dan juga hal-hal lain yang terjadi antara aku dan gadisku yang cantik itu.
 
Aku kini telah mengetahui namanya, mengenalnya dengan cukup baik, juga berhasil menghitung dengan kira-kira saja, berapa luas penampang dari pipinya yang bulat itu. Dan ia pun, kurasa, juga sudah mengenalku dengan baik, meskipun aku yakin ia tak akan kelampau iseng untuk menghitung berapa diameter perutku yang kian hari kian membuncit ini. Satu-satunya hal yang tidak berubah, tentu saja kecantikannya yang tidak pernah mau beranjak pergi dari pelupuk mataku itu. Ia bahkan semakin terlihat cantik, dan kalimat ini adalah pujian yang biasa-biasa saja, serta tidak terbiaskan oleh tendensi apa-apa.
 
Padahal kau tahu, kawan, selama dua tahun yang hampir tiga tahun ini, ia seingatku pernah sekali berpacaran dengan seekor gorila, dekat dengan kancil yang feminim, jatuh cinta pada possum Amazon, juga didekati oleh tiga belas kelelawar Guantanamo. Kau bisa bayangkan sendiri, kawan, seharusnya dengan melihat hal-hal semacam itu saja aku sudah tak bakal lagi sanggup mengatakan gadisku itu sebagai perempuan yang cantik. Atau seandainya ia masih betul-betul cantik, mungkin aku seharusnya mengikuti konsensus orang-orang kebanyakan dengan mencoba melihat dirinya dari sudut pandang yang salah dan keliru. Kau tahu supaya apa? Supaya gadisku itu tidak lagi kelihatan cantik, secantik yang biasanya.
 
Tetapi perlu sekali lagi kutegaskan di sini, bahwa gadisku yang cantik itu masih akan terlihat cantik di mataku, dan akan tetap kelihatan seperti itu, sampai kapanpun juga. Meskipun, aku tak pernah mengatakan hal itu secara langsung kepadanya.

Kau tahu kawan, kadang dalam hidup, akan kita temui beberapa buku yang membuatmu tak berani membukanya lebih jauh, lebih dari sekedar halaman kata pengantarnya saja. Gadisku ini, aku umpamakan saja sebagai buku yang seperti itu.
 
Tetapi tentu saja, buku yang kumaksud di sini bukanlah jenis buku yang hanya bagus dari luarnya saja. Bukan juga sebuah buku yang kau merasa ceritanya bakal membosankan bahkan ketika engkau baru menyelesaikan membaca kata pengantarnya saja. Sama sekali bukan. Kau hanya tak berani membukanya, sebab kau tahu buku itu teramat kau sayangi, sampai-sampai kau tak ingin melihat halaman-halaman kertasnya yang ringkih dan bersih itu jadi rusak, karena tanganmu yang sembrono ketika membaliknya.
 
Dan memang begitulah yang kurasakan pada gadisku itu. Aku merasa tak memiliki cukup bakat untuk membuatnya jatuh cinta atau sekedar membuatnya betah berlama-lama bertukar pesan singkat denganku.
 
Akan kuberitahu kau sebuah rahasia, kawan, bahwa beberapa paragraf yang kau baca di atas tadi sebetulnya adalah cerita yang sebelumnya tak pernah kuceritakan kepada siapapun juga. Mungkin saja malaikat pernah mendengar cerita ini sewaktu aku bergumam seorang diri di kamar mandi. Tetapi kau tentu tahu, ia bukan mendengar karena aku ingin bercerita kepadanya. Ia hanya menguping di pintu kamar mandi, tanpa ada seorangpun yang tahu, termasuk aku.
 
Dan biar rahasiaku itu tidak sendirian bersarang dalam ingatanmu yang penuh dengan spasi kosong itu, akan kuberi ia seorang teman dalam wujud rahasiaku yang lain. Rahasia itu, tentu kau bebas memilih apakah akan mengingat-ingat dan menyimpannya sampai kau mati kelak, atau akan kau lupakan begitu saja ketika kau bangun keesoka hari. Aku toh tak akan mempersoalkannya.
 
Rahasiaku itu berbunyi kira-kira seperti ini: aku pernah membuatkan gadisku yang cantik itu, sebuah cerita pendek. Itu barangkali bukan rahasia yang istimewa, tetapi seingatku, itu adalah cerita pendek pertama yang kubuat dengan serius. Sialnya pada waktu itu, menulis, sebagai satu-satunya bakat dalam diriku yang kuanggap cukup lumayan, dan belakangan ini sering kubangga-banggakan kepada rekan, pada kenyataannya justru memusuhiku di saat aku sedang membutuhkan bantuannya dalam usahaku memikat gadis yang kusayangi itu. Ia berkhianat dengan membuatku lupa pada poin-poin krusial yang hendak kutulis pada cerpenku itu. Seperti yang hampir saja kejadian pada tulisanku ini tadi.
 
Cerita pendek itu, seperti yang sudah kubilang sejak awal tadi, tak pernah bisa kuselesaikan. Bahkan hingga sampai sekarang. Aku bahkan tak lagi ingat cerita pendekku hendak berkisah tentang apa. Tetapi yang jelas, cerpen yang tak pernah selesai itu masih sempat kuberi judul. Perempuan Pengalung Mimpi, begitu kira-kira aku memberinya nama. Sebuah judul yang tentu saja sangat tidak Andy Warhol sekali bukan?
 
Kadang aku menyesal juga kenapa menulis sebuah cerpen untuk seseorang yang begitu kusayang justru pada saat aku masih dalam proses belajar menulis. Coba bayangkan, seandainya aku memilih menuliskan cerpen untuknya saat aku telah menjadi begawan sastra. Pastilah hasilnya akan lebih sastrawi, dengan alur yang kompleks, diksi yang adiwarna, serta metafora yang gemah ripah. Tak bisa kubayangkan bagaimana wajah gadisku itu jika ia membaca cerpen yang semacam ini.

Tetapi yang lebih penting daripada itu, jika saja cerpen itu tidak kutulis saat aku masih dalam proses belajar tentang dasar-dasar menulis yang baik dan benar, cerpenku itu akan bisa selesai kutulis—bukan berhenti di tengah-tengah seperti sekarang—sehingga gadisku itu akan dapat membacanya, kapanpun ia mau. Mungkin ia akan membacanya untuk menemani waktu istirahatnya di beranda. Sepulangnya melakukan lari pagi keliling komplek. Atau justru untuk mengisi waktu luangnya kala kemacetan secara paksa membikin bus jemputan yang biasa ditumpangi gadisku itu tersendat-sendat mengarungi jalanan ibu kota. Ia merdeka untuk membaca cerpen itu kapanpun, dan sesering apapun yang ia mau.
 
Sayangnya, semua itu tak akan pernah kejadian. Sebab jangankan gadisku itu, aku sendiri pun tak akan pernah membaca cerpen yang kutulis itu, hingga sampai kapanpun juga, kecuali cerpen itu bisa kuselesaikan.

Dan kau tahu kawan, ketika tulisanku ini telah sampai pada paragraf ini, tiba-tiba saja aku menemukan kata-kata yang menurutku cukup tepat untuk menutup ceritaku yang agak panjang ini. Kata-kata itu kira-kira akan kau baca dengan cara seperti ini:
 
Barangkali, gadisku itu bukanlah sebuah buku yang tak seharusnya kubuka lebih dari halaman kata pengantarnya saja. Ia juga barangkali bukanlah sebuah cerpen yang tak seharusnya kutulis saat aku masih belajar memahami sastra. Ia, gadisku itu, mungkin saja adalah sebuah buku yang tetap mau halamanya yang putih dan bersih itu terlipat oleh tingkah sembrono tanganku. Atau barangkali ia juga akan senang-senang saja ketika kubikinkan sebuah cerpen yang tak begitu bagus, sebab ia tahu kalau penulisnya bukanlah seorang begawan sastra yang termahsyur.
 
Dan lebih daripada itu semua, aku sebetulnya juga sedikit berharap kalau gadisku ini tahu betul, bahwa di belahan pulau lain yang ratusan kilometer jauhnya dari tempat ia berpijak sekarang, ada seorang laki-laki yang tak cukup berbakat, yang jatuh hati kepadanya sejak ratusan juta tahun cahaya yang lampau.

Ia sebetulnya tahu ini semua, tetapi ia menunggu.

4 komentar:

  1. as*, menohok banget sih tulisan lu yang ini brey T.T

    BalasHapus
  2. gw tau tulisan ini ditujukan buat siapa..huhuhu..

    BalasHapus
  3. Mas Galih, up date lagi dong blog-nya, Mas.

    BalasHapus