Malam ini, saya, untuk kesekian kalinya dibuat merinding ketika National Anthem kita, Indonesia Raya, bergaung dengan sangat dahsyat di Stadion Gelora Bung Karno. Ini yang namanya Nasionalisme itu, kami semua berteriak lantang tanpa malu-malu melantunkan bait demi bait, tak peduli merdu atau tidak. Sesuatu yang dulunya tak pernah saya temui ketika upacara bendera di sekolah. Kami memang tidak saling mengenal satu sama lain, tapi toh peduli setan dengan hal tersebut, kami datang untuk negara ini, Indonesia.
Malam ini pula, saya dan mungkin juga seluruh rakyat Indonesia, mendadak lupa dengan siapa itu Nazarrudin, siapa itu Gayus Tambunan, sengketa-sengketa mafia hukum, kasus-kasus korupsi, dan juga permasalahan hidup kami selama 90 menit. Kami larut dalam sebuah pesta rakyat.
Maka ketika sundulan Christian Gonzales melesat masuk ke sudut gawang, pecahlah euforia dan histeria. Senyum-senyum kegembiraan berhamburan, kami berpelukan, mengepalkan tangan, meloncat kegirangan serta membunyikan terompet keras-keras. Semuanya gegap gempita. Kemudian berturut-turut ketika El-Loco dan Mohammad Nasuha kembali menambah angka pada papan skor, euforia itu makin menggila. Kami bungah, kami merasa bangga sebagai sebuah bangsa. Indonesia jumawa dengan keunggulan sementara 3-0.
Lalu ketika lawan mulai mengejar ketertinggalan lewar sebuah gol, kami teriakkan lagi yell-yell kami. Kami kibaskan lagi syal-syal kami. Kami tabuh lagi genderang-genderang kami. Kami tiup lagi terompet-terompet kami. Dengan lebih kencang, lebih keras, dan lebih membahana. Tujuannya jelas, membangkitkan lagi kepak sayap Garuda-garuda Merah Putih. Berhasil, Muhammad Ridwan mencatatkan namanya di scoresheet, 4-1 Indonesia kembali memimpin jauh.