Minggu, 21 Oktober 2012

Banyumas dan Kisah Sebuah Sungai


Belakangan ini saya merasa rutinitas kantor sudah begitu menjemukan kalau tak boleh dibilang menyebalkan. Aktivitas yang monoton, plus tunggakan pekerjaan yang tak henti-henti dan kian hari makin menggunung, telah hampir membikin saya menjadi robot yang cuma tahu dua hal : merekam dan merekam.

Bukan saya tak menikmati pekerjaan saya, tapi manusia kan memang dilahirkan sebagai makhluk yang mudah bosan. Se-legowo apapun seorang manusia, tetap saja akan ada suatu masa dimana dia merasa jengah dan harus keluar mencari udara segar supaya kepalanya tidak meledak akibat disulut stress yang sudah mengubun-ubun. Saya pun demikian. Karena itu pada akhir pekan kemarin (5/10/2012), berangkatlah saya mengunjungi daerah Banyumas dan Purwokerto demi melarikan diri dari banalnya rutinitas kantor serta melemaskan otot-otot saraf yang sudah mulai kejat akibat kerjaan yang tak habis-habis. Sudah saatnya saya pergi berlibur. My friend, it's a vacation time!!

******

Saya berangkat ke Banyumas bersama seorang kawan sekantor, Budi namanya, yang kebetulan punya beberapa sanak saudara di sana. Niatnya jelas, dengan menumpang di rumah saudara Budi, kami bisa menekan pengeluaran selama di sana. Minimal, tempat berteduh selama di sana sudah hampir pasti terjamin. Syukur-syukur kalau mendapat makan gratis, pasti tidak akan kami tolak.

Kami sampai di Banyumas sekitar pukul tujuh pagi. Kebetulan, rumah sejawat yang hendak kami tuju lokasinya tidak begitu jauh dari Pasar Banyumas, jadilah kami berkesempatan untuk mengintip-intip kesibukan pasar di pagi hari sebelum membelok di perempatan yang menuju ke rumah Bude Halimah, tempat kami akan menumpang tinggal dan beristirahat selama di Banyumas. Simbok-simbok yang menggendong senik berisi sayuran dan jajan pasar, serta laki-laki paruh baya yang mengangkut karung goni di punggung terlihat bersliweran di pasar, pagi itu.

Kesan pertama yang saya tangkap dari Banyumas adalah, kota ini begitu menghargai keberadaan mata air atau sumber air. Banyumas sendiri, konon, menurut asal usulnya dinamakan demikian karena ada orang asing yang terheran-heran melihat penduduk lokal mengantri mengambil air berjam-jam di sebuah belik pada musim kemarau. Saking panjangnya kemarau pada waktu itu, saat hujan akhirnya turun, orang-orang berteriak kegirangan "Emas, emas, emas!". Hal ini semakin membikin heran orang asing tadi. Dalam pandangannya, di Banyumas, setetes air tak ubahnya sekeping logam emas : sangat berharga. Thus, jadilah kota ini kemudian diberi nama Banyumas, air yang senilai dengan emas.

Beberapa desa yang ada di sini, kebanyakan dinamai dengan nama-nama yang berhubungan dengan air. Desa tempat tinggal Bude Halimah misalnya, dinamai dengan nama Kedunguter. Dalam bahasa Jawa, kedung berarti sungai yang luas dan dalam. Selain itu ada juga nama-nama lain seperti Kedung Banteng, Kedung Gede, Kaliori, serta Kalibagor yang semakin menguatkan imej bahwa Banyumas adalah kota yang sangat meninggikan derajat sebuah mata air. Mungkin seandainya berada dalam dunia di film kartun Avatar, Banyumas akan masuk ke dalam teritorial Negara Air yang merupakan musuh dari Negara Api.

Sampai di rumah Bude Halimah, Budi mulai bercengkrama dan melepas rindu dengan Budenya itu. Konon, sudah hampir 14 tahun dia tidak berkunjung ke sini. Beberapa sanak saudaranya pun ia sudah tak ingat lagi bagaimana bentuk wajahnya. Beruntung, saudara-saudaranya masih mengenali dirinya. Dari jarak beberapa ubin, saya mendengarkan perbincangan mereka sembari sesekali tersenyum dan ikut nimbrung dalam pembicaraan.

Budi mulai berkisah kalau waktu kecil dulu dia sering main-main di sungai besar yang letaknya cuma selemparan batu dari rumah Budenya ini. Sungai itu, menurut memori masa kanak-kanaknya, airnya sangat jernih dan mempunyai kedalaman yang bisa menenggelamkan Yao Ming. Arusnya cukup deras, karenanya, waktu kecil, Budi tak pernah berani berenang di sana. Sungai itu adalah Sungai Serayu. Salah satu landmark paling populer di kota Banyumas.

Tiba-tiba datanglah seorang pria paruh baya yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek saja. Saya memicingkan mata sejenak menyambut kehadirannya. Rupanya beliau adalah Pak Rahman, tetangga dari Bude Halimah, yang juga masih bertali darah dengan Budi.

Pak Rahman, Toro Margens dari Kedunguter
Pak Rahman, menurut pengamatan saya, adalah prototipe rural hardworker tulen. Penampilannya sederhana. Kulitnya hitam legam. Rambutnya acak-acakan. Badanya kelihatan atos dan tegap, meski usianya tak lagi muda. Tapi dibalik itu semua, ternyata beliau adalah orang yang ramah dan asyik diajak ngobrol. Dari beliau, saya mendapat saujana yang berbeda menyoal Sungai Serayu.

"Sungai ini sering minta korban," kata beliau dengan suara yang dimirip-miripkan Toro Margens. "Banyak yang tenggelam di sungai ini. Dan kalau sudah begitu, lebih baik tidak usah ditolong," sambungnya. Saya dan Budi seketika itu langsung menelan ludah. Serayu sendiri konon, berasal dari kata "serah" dan "hayu" yang berarti penyerahan jiwa. Menurut Pak Rahman kalau ada orang yang tenggelam di Sungai Serayu, kemudian jasadnya membengkak seperti ikan kembung saat ditemukan, itu tandanya dia bukanlah korban yang "diminta" oleh Serayu. Akan berbeda kalau jasad yang ditemukan wajar-wajar saja tanpa kelainan, itu tandanya bahwa jasad tersebut memang sudah di-request oleh sungai ini. Saya langsung mak perinding di tengkuk mendengarnya.

Serayu memang sebuah sungai yang sangat dalam dan lebar. Karenanya, berenang di sana tidak pernah mudah. Kalau tidak benar-benar jago dan tahu seluk beluk kedalaman sungai, siap-siap saja ditelan oleh arusnya. "Pokoknya kalau bukan anak kelahiran sini, jangan coba macam-macam sama itu sungai kalau tidak mau kenapa-kenapa," Pak Rahman memperingati kami berdua, masih dengan suara ala Toro Margens-nya. Saya mengangguk dengan wajah pucat. Saya yang tadinya penasaran dengan sungai ini dan ingin merasakan kesegaran airnya, kini menjadi sedikit ngeri juga setelah mendengar cerita dari Pak Rahman.

Budi kemudian mengajak saya melihat langsung sungai Serayu dari dekat. Cukup berjalan beberapa langkah saja dari rumah Bude Halimah, kami sudah bisa mencium bantaran sungainya. Begitu sampai di sana, apa yang saya temui berbeda jauh dengan apa yang di deskripsikan Budi. Tidak ada air sungai yang jernih. Tidak ada orang-orang yang berenang-renang di sungai. Tidak ada arus sungai yang deras. Yang ada hanya air sungai yang keruh kehijauan, arus sungai yang tenang melambat, serta sembulan lumut-lumut yang mengapung di pinggiran sungai. Sampah-sampah buangan juga terlihat di titik-titik tertentu sekitaran sungai.




Budi mengerutkan kening mendapati keadaan sungai yang sudah berubah total. Waktu 14 tahun sepertinya sudah cukup untuk merubah sungai yang tadinya indah, menjadi seperti sekarang ini. Usut punya usut, ternyata keruhnya air sungai ini terjadi akibat penambangan pasir yang merajalela. Saking seringnya ditambang, dasar sungai di lokasi penambangan jadi makin dalam. Lebih dalam dibanding dasar sungai yang tidak ditambang. Akibatnya aliran sungai jadi tersendat di titik tersebut sehingga mengakibatkan arusnya menggenang. Inilah yang memicu munculnya lumut-lumut dan membikin air sungai jadi keruh. Saya tidak tahu apakah di lokasi yang lain, kondisi air sungai Serayu juga keruh seperti ini. Tapi yang jelas, Serayu yang sekarang sudah tak secantik yang dulu. Setidaknya dari kacamata Budi.

Saya mencoba berjalan menyusuri bantaran sungai ini hingga sampai ke lokasi penambangan pasir. Dua buah truk sedang parkir di tepian sungai. Para penambangnya sibuk mengangkut pasir ke kedua truk tadi. Sementara seorang yang berjaga di atas bak, bertugas meratakan pasir-pasir yang diangkut tadi agar volume yang dapat ditampung menjadi maksimal.

Truk-truk penambang uang, eh pasir.
Impresi saya soal orang-orang Banyumas yang menghargai mata air saat itu jadi sedikit meluntur. Arus kapitalisme dalam kurun 14 tahun mungkin sudah menggeser definisi Banyumas, air yang senilai dengan emas, menjadi air yang digadaikan demi emas. Dalam hal ini, sungai yang ditambang pasirnya, untuk kemudian dijual ke toko-toko material. Jangan-jangan 14 tahun dari sekarang, Serayu ini sudah menapaktilasi jejak Kali Ciliwung yang buruk rupa dan bau itu. Amit-amit jabang bayi, semoga saja tidak. Sangat disayangkan kalau Serayu ini berubah jadi seperti Ciliwung.






Untuk dokumentasi, saya lalu membidikkan kamera saya untuk merekam lansekap-lansekap yang menarik di sekitaran sungai. Saat itulah sebuah kejadian lucu terjadi. Seorang Simbah tua tiba-tiba muncul di belakang Budi yang hendak saya ambil fotonya. Tanpa permisi dan ba-bi-bu, simbah tadi langsung saja duduk jongkok di pinggir kali sembari memelorotkan celana kolor hitamnya. Masya Allah, rupanya beliau hendak (maaf) buang hajat! Saya dan Budi secara naluriah langsung menyingkir beberapa langkah sambil misuh-misuh dan terpingkal-pingkal.

Simbah ini hampir saja jadi photobomb, secara denotatif dan konotatif.
Rupa-rupanya di jaman yang sudah modern ini, dimana toilet-toilet dengan fitur auto flush adalah sesuatu yang jamak ditemui, masih ada orang yang buang air dengan cara konvensional seperti Simbah ini. Saya jadi ingat kalau dulu pernah beberapa kali merasakan buang air di sungai. Tapi itu sudah sekitar 12 tahun yang lalu, di desa tempat tinggal Kakek-Nenek saya. Seketika itu saya pun dibuat sadar akan satu hal, bahwa dibalik banyaknya orang-orang yang coba mengeruk keuntungan dengan merusak alam seperti yang dilakukan penambang-penambang pasir di Serayu ini, akan selalu ada orang-orang yang memanfaatkan alam sesuai dengan kodratnya yang semestinya.

Dalam hati, saya berdoa, semoga 14 tahun dari sekarang, orang-orang seperti Pak Rahman dan Simbah ber-kolor hitam tadi masih jamak di temui di sekitaran sungai ini. Orang-orang yang memaknai anugerah dari alam dan Tuhan, dengan cara yang paling konvensional, namun paling kodrati. Orang-orang yang menempatkan alam, sebagai kawan dan sahabat. Orang-orang yang hebat.


Adios - Gale

2 komentar:

  1. tapii...sepertinya buang (maaf) hajar di sungai itu... membahayakan orang2 yang mandi di hilir <== sering jadi koraban, belasan tahun lalu -_-

    #oot #lalupergi

    BalasHapus
  2. tapi kangen juga kan sama momen2 kena bomb kayak gitu? sekarang udah langka :(

    BalasHapus