Kamis, 31 Januari 2013

Sambat

-tentang keluhan, dan hal-hal yang belum selesai

Entah sudah keberapa kali saya harus membuka tulisan saya dengan sebuah keluhan. Kali ini pun tidak jauh beda, bahkan melulu sebuah repetisi. Ini lagi-lagi tentang pekerjaan. Lebih tepatnya tentang pekerjaan yang tidak pernah habis-habis dan selalu datang lagi, bahkan saat pekerjaan yang lama belum rampung disentuh separuhnya.

Kita semua tahu, bekerja itu memang kadang-kadang membosankan. Dan saya seringkali mengeluh karena itu. Barangkali apa yang saya lakukan itu —mengeluh tentang pekerjaan— adalah sebuah fallacy yang maha menggelikan bagi seorang pekerja seperti saya, dan mungkin juga untuk anda. Tapi bukankah mengeluh adalah sebuah fundamen yang melekat pada seorang manusia sejak ia dilahirkan?

Seperti halnya John Huizinga yang membaptis manusia sebagai homo ludens, makhluk yang (suka) bermain, sudah selayaknya kita mengamini bahwa manusia juga adalah seorang homo querentes, makhluk yang (suka) mengeluh. Manusia memang terdesain untuk pandai dalam mengeluhkan apa saja yang ada di kehidupannya. Dari mulai yang berat-berat seperti cinta yang tak pernah tepat waktu, atau takdir yang sering berseberangan dengan harap. Sampai kepada hal-hal yang remeh temeh macam berat badan yang naik barang satu dua kilo saja, atau saat darah dalam daging sedang dihisap kuat-kuat oleh seekor nyamuk. 

Harus diakui, sadar maupun tidak sadar, kita memang kerap begitu.

Apalagi pada zaman yang sudah dibanjiri aneka rupa jejaring sosial seperti sekarang. Mengeluh adalah pekerjaan yang bahkan jauh lebih mudah (dan juga menyenangkan) daripada menyeduh secangkir kopi di kala hujan. Tinggal sekedar mengetik barang sepuluh sampai dua puluh lima detik dengan dua buah jari manis, pilih "send tweet" atau "update status", dan... BAM! Selamat, kamu telah berhasil membuat keluhan, tanpa perlu susah-susah bertatap muka dengan orang yang ingin kamu bagikan keluh kesah. Mengeluh, kini memang tidak lagi jadi budaya malu-malu yang harus dilakukan sembunyi-sembunyi dengan volume suara yang berbisik-bisik, tetapi telah menjadi sebuah gaya hidup yang fasik. Mengeluh, kini memang telah berubah jadi barang konsumsi publik. Yang bebas untuk dilirik-lirik.

Lalu kembali pada soal mengeluh tentang pekerjaan, seperti yang saya tuliskan di atas, bagi seorang pekerja sejatinya adalah sebuah kesesatan pikir yang ironis. Sebab pekerjaan memang tidak akan pernah habis diselesaikan selama kamu masih memiliki label sebagai seorang pekerja, karyawan, buruh atau segala rupa nama penggantinya. Andai Descartes adalah seorang pekerja dan bukan filsuf, barangkali dia sekarang bukan beken dengan kredo "Aku berpikir, maka aku ada", melainkan "Aku bekerja, maka aku ada". Dan memang seperti itulah seorang pekerja seharusnya. Ia ada, karena adanya pekerjaan. Bukan sebaliknya.

Selamanya seorang pekerja tidak akan pernah lepas dari pekerjaan. Setidaknya sampai pada saat label pekerja itu telah lepas dari dirinya. Makanya, mengeluh karena pekerjaan yang menggunung dan membosankan, adalah sekedar perbuatan yang nguyahi segara saja. Sia-sia, dan tak ada manfaatnya.

Atau barangkali begini, mengeluh masihlah sesuatu yang mafhum, selama ia tidak berlebihan dan tidak sekedar berhenti di situ saja. Harus ada tindak lanjut dari sebuah keluhan, dengan melakukan antitesis dari keluhan itu. Dan orang bebas memilih sendiri antitesisnya. Misalnya saja saya, bersama beberapa teman yang lain, kala berpartisipasi dalam kegiatan #7HariMenulis ini.

Oleh sebab menulis, bagi saya, adalah sesuatu yang menyenangkan dan tak pernah membosankan, saya menjadikannya sebagai antitesis dari keluhan tentang pekerjaan yang menggunung dan membosankan. Sebagai pelarian dari banalnya rutinitas kantor yang itu-itu melulu. Agar supaya keluhan-keluhan saya tidak sekedar selesai sampai di situ saja. Agar supaya keluhan-keluhan saya tidak cuma berhenti di situ saja. 

Karena keluhan, memang sebuah hal yang belum selesai.

Dan ia harus diselesaikan.


Adios - Gale

~tanbihat : tulisan ini dibikin dalam rangka mengikuti kegiatan #7HariMenulis asuhan @birokreasi.

15 komentar:

  1. Selamat, tulisan lu jadi inspirasi gua buat postingan #7HariMenulis besok

    BalasHapus
  2. bahkan, awal mula keberadaan kita di bumi adalah ketika kedua orang tua kita mengeluh pada suatu malam..

    ,,eh bukan ding, itu melenguh.
    krik krik krik..

    BalasHapus
    Balasan
    1. mengeluh dan melenguh, sama-sama hal yang belum selesai kok. jangan cuma berhenti di situ saja :)

      Hapus
    2. heru itu ya kalau nggak galau, ya porno :|

      Hapus
    3. pangeran galau itu masih rada keren ya, kalo pangeran porno....... :|

      Hapus
  3. "aku merekam espete, maka aku ada" --galih, calon pegawai pajak yang mempunyai kegemaran duduk di kursi. :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. biar saya ralat sedikit, "aku merekam espete, maka aku ada. dan jika aku bosan, maka akan ada tulisan." :D

      Hapus
  4. menulis adalah kesesatan pikiran yang eksotis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. karena dengan menulis, aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang~
      *kemudian hening*

      Hapus
  5. ini postingannya kok nyindir aku ya.. haha..
    drpd ngeluh mending nulis lah.. eh tulisannya isinya keluhan jg.. wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini mah satir buat diri sendiri kok, mbak. Tp abis nulis ini masih sering ngeluh juga sih ahahaha.

      Hapus
  6. sukur deh ada lo sama gita, gw jadi pengen ikutan nulis biar kata belepotan, ahaha

    BalasHapus
  7. enak ya. cuma negluh aja udah jadi satu tulisan :(

    btw, baru tahu kalo ada orang namanya John Huizinga. setahuku adanya John Heitinga. *intermezzo*

    BalasHapus