Sabtu, 27 Juli 2013

Tiga Bulan : (bukan) Sebuah Ode

Hidup memang senantiasa berubah. Ia bukalah bus Transjakarta yang melaju statis dalam lintasan koridornya yang linear. Kadang-kadang, ia berubah secara pelan-pelan, lamat-lamat, secuil barang secuil. Tapi tidak jarang juga ia berganti rupa secara mendadak, seketika, dan tiba-tiba. Jauh lebih instan daripada perubahan wujud Power Rangers, ataupun status relationship Aurel Hermansyah.

Karena itulah, teruntuk jenis transisi kehidupan yang disebut terakhir itu, saya pikir, setiap manusia yang beruntung mengalaminya, pasti bakal merasakan kegamangan yang penuh seluruh ketika menjalani pelbagai macam distorsi dan perbedaan kehidupan yang terpampang di hadapannya. Tak perlu jauh-jauh bertanya kepada kerabat maupun handai taulan perihal bagaimana rasanya bersemuka dengan hal tersebut. Sebab saya, belum lama ini mengalaminya.

***

Tiga bulan yang lalu, saya mungkin tak pernah berpikir akan berada di tempat saya berada —tempat saya mengetik tulisan ini— sekarang. Ah, jangankan memikirkan, membayangkannya pun saya tak kuasa.

Tiga bulan yang lalu, saya pikir, kehidupan saya masih tak akan jauh berbeda dengan rutinitas yang saya jalani selama setahun ke belakang. Berangkat ke kantor di pagi hari seperti biasanya, melintasi jalanan Jakarta yang sudah macet, walau penjual nasi uduk bahkan belum sempat menjual separuh dari dagangannya. Kemudian sampai di kantor pada pukul tujuh, saat keadaan kantor masih sepi dan belum banyak pegawai yang berdatangan.

Tiga bulan yang lalu, saya kira, separuh lebih dari kehidupan saya masih bakal dihabiskan di kubikel yang sama, tempat saya biasa menaruh gelas, memandang nanar layar datar berisi angka-angka majemuk, serta berselancar dalam dunia maya ketika tumpukan pekerjaan sudah terlalu banal dan menjemukan untuk disentuh.

Kubikel yang juga jadi tempat saya biasa mendongakkan leher saban kali hendak bercengkrama dan bersenda gurau dengan penghuni lantai dua kantor saya. Atau sekedar membujuk Mas Udin, senior saya di kantor, supaya mengacuhkan sejenak pekerjaannya yang banyak, demi membikin kopi bersama-sama di pantry.

Tiga bulan yang lalu, saya harap, saya masih akan bersemuka dengan keluarga saya —dengan Ayah-Ibu saya, dengan adik-adik saya— saban kali sampai di rumah sepulang kerja. Pada tiap senja yang redup dan apak itu, biasanya saya akan bertanya kepada Ibu, perihal masakan apa yang beliau masak hari ini. Lalu beliau dengan sigap malah mengambil secarik rupiah dari kantungnya, kemudian menyuruh saya membeli sebungkus nasi goreng di warung dekat lampu merah. Karena beliau, ternyata tak sempat memasak untuk saya hari itu.

Seharusnya, sampai dengan hari ini pun, andai nasib tak berkehendak lain, semua hal di atas bukan sesuatu yang nisbi untuk dicicipi. Tapi kita semua tahu, kalau nasib memanglah kesunyian milik masing-masing. Dan pada hari itu, sebuah kamis yang basah dan mendung, tiga bulan yang lalu, tanpa disangka-sangka kesunyian bernama nasib itu kembali datang menyergap, justru pada saat orang-orang mulai melupakan harap.

Ini mirip seperti ketika kamu baru saja sampai di kos-kosan pada malam hari, setelah seharian berendam dalam kubangan pekerjaan di kantor, dan kamu begitu ingin segera merebah. Punggungmu terasa sangat pegal, karena satu jam lebih bergelut dengan kemacetan di perjalanan yang bedebah.

Lalu tiba-tiba, saat bokongmu belum juga dihempas barang lima menit di atas sofa merah, datang wanita paruh baya bersanggul pongah. Belum sempat kamu persilahkan ia masuk, mulutnya sudah menyembur-nyembur serapah marah. Kamu diultimatum, "pilih bayar sekarang atau keluar dari rumah?!" Padahal, dari mulut itu juga lah kemarin waktu sempat keluar kata-kata indah.

Katanya waktu itu, "bayar kosnya minggu depan juga  tak apa-apa. Santai saja lah." Tapi kenyataannya, walau tidak ada hujan dan tidak ada angin, wanita itu, ibu kos-mu, mendadak menjilat ludah.

Dalam tiap cerocos dan sekali dua muncratan air ludah dari wanita itu, kamu semakin yakin bakal ada kenyataan yang tak bisa dicegah. Seberapa keras kamu menengadah dan menyembah-nyembah, sisa rupiah di dalam dompetmu tak akan bertambah. Lambat laun —sembari tetap mendengarkan pidato humanisme berat sebelah— kamu mulai sadar, kamu sudah tak punya lagi celah. Dan kamu tahu, keesokan harinya, kamu akan terlihat berjalan terengah-engah dalam terik siang yang cerah, meninggalkan kos-kosanmu dengan pasrah. Nasib, kawanku, memang bisa cepat sekali berubah.

***

Dan karena nasib yang bisa cepat berubah itu lah, saya bisa berada di sini sekarang, tiga bulan sejak hari kamis yang monumental itu. Terpisah jarak nyaris seribu kilometer dari rumah, meninggalkan segala hal yang biasa saya jalani selama setahun kemarin, tetap pada tempatnya masing-masing, untuk menemukan kenyataan-kenyataan baru, yang walaupun tak lagi sama, tetapi sangat layak untuk disyukuri dan dinikmati.

Saya kini tak perlu lagi berangkat pagi-pagi demi berkelit dari macet dan segala rupa eksesnya dalam perjalanan menuju kantor. Sebab di sini, kemacetan adalah substansi kehidupan yang jauh lebih hipster daripada anak nongkrong "Aksara" pengkonsumsi barang-barang Moleskine.

Kubikel saya di sini tak kalah nyaman dengan kubikel yang saya tempati dahulu. Saya juga masih bisa berdialog menggunakan bahasa Jawa dengan orang-orang di sini, berwisata kuliner, serta mencetak gol di lapangan futsal. Kalaupun ada yang sedikit saya rindukan, barangkali adalah saat-saat menyeduh kopi di pantry atau memanggang roti tawar sampai gosong di sela-sela pekerjaan, sambil bercakap-cakap dan menertawakan apa saja yang bisa ditertawakan bersama orang-orang di kantor lama.

Dan meskipun kini saya ternyata —ini yang paling berat— tak bisa lagi tiap hari bersua dengan "orang-orang rumah" saban kali saya pulang dari kantor, nasib ternyata masih mau berbaik hati dengan memberi subtitusi dalam bentuk lansekap terbenamnya matahari, serta kecipak air pasang di garis pantai yang adiluhung indahnya, buat disaksikan sekerap apapun saya mau, sesering apapun yang saya mau.

Pada tiap momen khidmat tersebut, saban kali saya menyaksikan mangkatnya matahari di ufuk barat dari tepian pantai-pantai di pulau ini, samar-samar sering terdengar suara Chairil membacakan lagi dua baris awal puisi "Pemberian Tahu" miliknya yang termahsyur itu, dengan suaranya yang paling liris:
bukan maksudku mau berbagi nasib,
(sebab) nasib adalah kesunyian masing masing...
Dan kesunyian pun menjadi benar-benar subtil karenanya.


Adios - Gale

Tidak ada komentar:

Posting Komentar