Minggu, 25 Agustus 2013

Di Bandara



- Waktu jalan (denganmu), aku tidak tahu apa nasib waktu

Sayangku, kamu tahu, malam ini seharusnya jadi malam yang biasa saja buat kita berdua. Kita tidak sedang berjalan lebih jauh, ke entah berantah, seperti dikisahkan dalam irama liris milik Banda Neira. Kita juga tidak sedang berdua menuju ruang hampa seperti lagu yang Efek Rumah Kaca biasa senandungkan. Dan kita bukan pula tengah berniat menjadi sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa, sebagaimana Frau memberi nama buat lagunya yang termahsyur itu.

Sama sekali tidak.

Kita cuma sedang melakukan sesuatu yang sederhana saja. Kita duduk bersebelahan di sini. Pupil kita silih bertumbuk. Bau nafas kita saling meraba. Pundak kita kerap bersinggungan. Kedua telapak kaki kita sama-sama tidak sedang menjejak permukaan bumi. Dan kita bisa menghidu aroma parfum masing-masing, saat kita diam-diam menghirup napas dalam-dalam. Sebab malam ini, kita —aku dan kamu— hanya sedang dipisahkan oleh jarak yang begitu renik, katakanlah, cuma beberapa zarah saja. Dan kamu tahu, sayangku, kita jarang sekali mendapatkan momen-momen seperti ini.

Sungguh aku sadar betul kalau di sini —di dalam kabin berlapis baja yang bisa terbang ini, yang warna putihnya telak kalah oleh binar kiranamu itu— kenyataannya kita memang tidak benar-benar sedang berdua saja. Ada banyak orang lain di dalam sini, yang seharusnya tetap kita anggap keberadaannya. Bukan diacuhkan begitu saja seperti katamu barusan. Tetapi bukankah peduli terhadap cibiran mereka —orang-orang yang kebetulan saja punya titik tuju yang sama dengan kita itu— adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan apabila pipimu sudah bertengger di bahuku seperti sekarang ini?

Jika sudah begini, aku rasa keruh awan dan jernih kilat yang terlihat dari jendela tempat kita duduk ini, tak pernah seseram yang mata kita rekam. Sebab segetir dan sederas apapun awan-awan itu menenun hujan, serta memugar bias-bias baskara dengan segala kelam, selalu ada bayan terang yang bisa ditangkap jelas pada retina kita berdua. Sebuah terang, yang jika saja kita lebih memilih untuk menyimpannya sendirian di dalam toples keheningan, barangkali bakal membikin gelap semakin ditahbiskan sebagai sahabat karib bagi waktu-waktu yang pernah lenyap. Atau setidaknya, bakal membuatnya kerap beranjangsana lagi di pintu-pintu yang usang tak berpenghuni.

Tetapi kamu tentu juga tahu, sayangku, bahwa gelap tidak pernah datang kepada kita malam ini. Walau lampu di dalam kabin sedang padam dibunuh redam. Walau langit dimana tempat kita berkendara ini sudah berubah muram dan meruam. Ada satu titik pada perjalanan kita berdua ini, yang membuat kita bisa sama-sama mengamini bahwasanya pada saat terbalur dalam bilur gelak riang percakapan serta tangan yang saling memagut seperti sekarang ini, adalah sebenar-benarnya terang yang membungkus. Ia —saat-saat seperti ini— selalu bisa membuat kita merasa kudus, walau kenyatannya hidup kerap penuh dengan melankolia berkardus-kardus.

Kata orang, sesuatu yang menyenangkan kerap membikin kita jadi gampang melupakan. Ia adalah permen manis yang bakal membikin kita kembali jadi sesosok bocah pandir, yang cuma tahu perihal manis gula-gula. Tanpa bisa mengingat bahwa jika memakannya terlalu banyak, kelak di kemudian hari, satu demi satu gigi kita bakal mengeropos dimakan ketidakberdayaan. Sampai akhirnya tanggal dengan perih, karena sudah terlalu ringkih untuk dipakai bertopang pada gusi.

Menempuh perjalanan ini bersamamu pun demikian, sayangku. Ia membawa kesenangan yang betul-betul melenakan.

Aku pikir kamu sudah tahu, bahwasanya perjalanan di udara sebenarnya tak pernah menjadi kawan yang karib bagiku. Atau seandainya ia telah berusaha keras untuk menjadi kawan yang baik, aku tak pernah merasa demikian. Selalu ada ketir yang getir serta rasa waswas yang mawas saban kali mendengar pengeras suara meminta rasa waskita dari para penumpang, tatkala benda raksasa yang menelan banyak orang di lambungnya ini akan segera lepas landas, menolak permukaan bumi.

Bagaimana kalau ia tak kuasa melawan tarikan gravitasi?
Bagaimana kalau rodanya mendadak tergelincir?
Bagaimana kalau mesin pendorongnya tiba-tiba mati?
Bagaimana kalau ini adalah perjalanan terakhir kita sebagai seorang manusia?

Segala ketakutan dan kekhawatiran macam itu, yang barangkali kamu anggap degil dan berlebihan, pada kenyataannya selalu mampir dan bersilang sengkarut di dalam batin. Tak peduli betapa sering aku melakukan perjalanan seperti ini.

Tetapi malam ini rupa-rupanya ketakutan dan kekhawatiran lupa memberi salam. Entah mereka tertinggal di ruang tunggu keberangkatan, atau bisa jadi mereka tak sempat waktu untuk melakukan boarding sampai panggilan terakhir selesai disuarakan. Apapun itu, yang jelas malam ini perjalanan di udara sedang mengupayakan sebuah gencatan senjata. Ia datang membawa sekantung permen manis lewat sosok perempuan yang sejak dua jam lalu menghabiskan waktunya dengan duduk di sebelahku. Ia membicarakan banyak sekali hal, serta memberi ketenangan yang melenakan, hanya lewat sebuah genggaman tangan.

Maka masih adakah ketakutan yang tak berani aku temui jika tubuh sudah kadung basah kuyup oleh riak-riak kebahagian seperti sekarang ini?

Aku rasa, kamu pun sudah tahu jawabannya, sayangku.

Walaupun pada akhirnya, sayangku, kita sadar kalau kesenangan selalu punya akhir yang anyir. Seberapa hebat dan sepanjang apa pun kesenangan mengurung kita dari segala penjuru, ia tak pernah alpa untuk kembali pulang dan memberi kalimat perpisahan. Adalah sebuah keniscayaan apabila kesenangan memang punya hak mutlak untuk pulang dengan meninggalkan residu yang pahit, juga sisa remah-remah yang bernanah. Ia —saat-saat berakhirnya kesenangan— adalah godam raksasa yang mampu meratakan seisi kota Gotham dalam sekali hantam, bahkan saat Bruce Wayne belum sempat menyelesaikan makan malam.

Dan seperti bocah kecil yang menjerit-jerit pada saat gigi gerahamnya digerus desing mata bor manakala gigi keroposnya coba ditambal, aku sadar betul kalau malam ini pun, kesenangan tidak pernah melupakan kewajibannya untuk pulang. Lewat suaranya yang paling liris, malam ini kesenangan berpamitan dengan satu kalimat yang mengiris:

"Suamiku sudah menunggu di bandara."


Adios - Gale

Tidak ada komentar:

Posting Komentar