Kamis, 24 November 2011

Mengakrabi Kegagalan Sepakbola Kita

Gunawan Dwi Cahyo, setelah kegagalannya mengeksekusi penalti / detiksport
Senin malam, 21 November 2011, jadi malam yang pahit bagi seluruh insan sepakbola Indonesia. Timnas U-23 kita, yang sempat membumbungkan asa kita untuk berprestasi lagi, setelah dua dekade lebih tak pernah meraih gelar juara, harus takluk di kaki harimau-harimau muda malaya melalui drama adu penalti pada partai puncak SEA Games ke-26, cabang sepakbola. Sebuah hasil yang untuk kesekian kali, terasa pahit dan mengecewakan bagi kita semua.

Negerinya orang-orang gila
Mengikuti  perkembangan sepakbola nasional sejak tahun 2001, saya belum lahir ke dunia ketika gol tunggal Ribut Waidi ke gawang Malaysia pada menit ke 105, babak extra-time final SEA Games tahun 1987, mengganjar Indonesia dengan kemenangan sekaligus mengukuhkan Ricky Yacobi dkk sebagai peraih medali emas cabang sepakbola, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Begitu pula ketika di Tahun 1991, ketika Timnas besutan pelatih asal Rusia, Anatoliy Polosin, meraih emas di SEA Games Manila setelah mengalahkan Thailand lewat adu penalti di babak final, saya hanyalah bocah yang belum genap berusia 1 tahun yang bahkan belum mengerti cara melafalkan "Gol" dengan baik dan benar.

Sedihnya, sejak saat itu, kita tak pernah berprestasi lagi, dan hanya berkutat pada status Nyaris. Nyaris juara Piala AFF (dulu bernama Tiger Cup), nyaris juara SEA Games lagi, nyaris lolos kualifikasi Piala Dunia, nyaris lolos ke babak knock-out Piala Asia, dan segala nyaris-nyaris lainnya yang tak terhitung lagi. Kita kerap tampil bagus dan meyakinkan di awal-awal, lalu kemudian limbung di saat akhir, kemudian gagal jadi yang terbaik. Piala AFF 2010 dan SEA Games kemarin adalah contohnya. Indonesia harusnya sadar, kita juga butuh tampil bagus di akhir, bukan hanya di awal saja.

Starting eleven vs Malaysia / detiksport
Mengutip kalimat Mas Zen Rachmat Sugito pada tulisannya, bahwa:
"Sejarah memang kerap tak adil bagi mereka yang kalah, mereka yang mungkin sudah bertarung sekuatnya dan melawan dengan sebaik-baiknya. Tapi, apa boleh bikin, begitulah tabiat sejarah: ia hanya mencatat para pemenang, hanya mau mengabadikan para juara." - Zen R.S
maka, ketahuilah bahwa kita sudah tak pernah munulis sejarah lagi semenjak Tahun 1991. Sudah dua dekade yang lampau kita terakhir kali menulis sejarah. Kita lama terbuai dalam bayang-bayang "nyaris" tadi serta ungkapan-ungkapan delusional yang akrab di telinga, seperti: pernah berpartisipasi di Piala Dunia (padahal hanya menggantikan Belanda), pernah jadi macan Asia, negara gila bola dan sebagainya. Sejatinya semua itu hanyalah pemantik motivasi untuk lebih berprestasi lagi, tapi kita justru menjadikannya bahan untuk menepuk dada.

Jadi mau sampai kapan kita tercebur di kubangan lumpur nirgelar itu melulu? mari tanyakan kepada induk tertinggi sepakbola nusantara: PSSI. Betapa buruknya timnas kita adalah buah carut marut kompetisi awut-awutan ala PSSI yang sudah bertahun-tahun dipertahankan. Pembinaan usia muda dengan teknik "kagetan" semodel Primavera, Baretti, dan kini S.A.D Uruguay, terbukti tak ampuh karena ketika mereka kembali dari menimba ilmu, prestasi juga tak pernah menghampiri. Belum puas dengan gagalnya sistem "kagetan" tadi, kini PSSI malah mengambil jalan pintas dengan mengambil pemain naturalisasi, baik yang memiliki keturunan Indonesia seperti Irfan Bachdim dan Diego Michiels, maupun yang nyata-nyata bukan orang Indonesia, semisal Christian Gonzales dan Greg Nwokolo. Metode ini memang sanggup mengangkat performa Timnas, tapi lagi-lagi tetap tak menghadirkan prestasi. Lagi-lagi hanya nyaris juara.

PSSI harusnya sadar kalau timnas yang hebat adalah muara dari kompetisi yang bagus serta pembinaan usia muda yang berkesinambungan. Ambil contoh Jerman, Mesut Ozil, Mario Goetze, Manuel Neuer dan segenap pilar-pilar muda Jerman saat ini adalah buah pembinaan usia muda dari DFB (PSSI-nya Jerman) yang langsung bereaksi setelah kegagalan Jerman di Piala Eropa 2000. Dengan Ozil dkk yang baru mencuat di Piala Dunia 2010 kemarin, berarti Jerman butuh 10 tahun untuk melakukan pembinaan pemain. Bayangkan, Jerman, juara 3 kali Piala Dunia saja butuh waktu 10 tahun, dan kita yang tak pernah lolos Piala Dunia ini masih mengharapkan prestasi dari model pembinaan "kagetan" seperti ini. Sulit, bahkan cenderung mustahil.

Arif Suyono, pasca kekalahan di final AFF 2010
Lalu kini, PSSI, dengan kepengurusan barunya ini, yang sepertinya masih sama saja dengan era jahiliyah Nurdin Halid, kita masih disuguhi realita yang sama. Kompetisi kita kini justru makin semrawut dan terbelah dua kubu, ISL dan IPL. Muncul klub-klub siluman, pemberian naik kasta secara ghoib, pun tarik ulur lobby-lobby kepentingan masih jamak ditemui. Kita masih di lingkaran setan yang sama, sama-sama laknat, sama-sama keparat. Ah kalau masih begini, jangan dulu bicara prestasi, kekalahan-kekalahan pahit masih akan sering kita jumpai. Mari mencoba mengakrabi kekalahan (lagi), sambil jangan pernah berhenti mendukung timnas kita, selamanya.


Indonesia...
kobarkan semangatmu
kan kubela sampai habis nafasku.

Jangan pernah menyerah,
sudah terlalu lama kita terlelap.

Bangkit dan raih semua mimpi!


Adios - Gale
foto dari detiksport dan duniasoccer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar