Selasa, 15 November 2011

Tribune View: Iluminasi Garuda Muda, Indonesia 3 - 1 Thailand (SEA Games 2011)

Hari Minggu kemarin, 13 November 2011, saya berkesempatan mencicipi aroma kompetisi olahraga se-Asia Tenggara, SEA GAMES 2011, melalui salah satu cabang olahraganya, yaitu sepakbola. Cukup lama absen menduduki seat lapuk tribun stadion karena pelbagai alasan, maka hari itu saya akhirnya kembali ke "rumah ibadah" yang sangat dicintai ratusan juta jama'ahnya dari Sabang sampai Merauke, Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Kalau boleh meminjam istilah milik John Bale, hubungan antara suporter dengan sebuah stadion dinamainya dengan istilah topophilia, dari kata topos yang berarti tempat, dan philia yang berarti cinta. Saya, dan juga puluhan ribu manusia yang memadati GBK malam itu, pasti paham betul akan kebenaran istilah itu. Karena memang menonton langsung di stadion, punya level kesenangan yang jauh lebih seru tinimbang melalui televisi atau nonbar sekalipun. Apalagi kalau tim yang kita dukung menang, hormon endorfin yang diproduksi tubuh bisa meningkat dua kali lipat dari biasanya. Berlaku juga untuk sebaliknya, kalau tim yang kita dukung kalah, nyeseknya juga bakal lebih menusuk tinimbang cinta ditolak :p *apeu*.

Halo, lama tak bersua
Dengan semangat bambu runcing, bersama tiga orang Wonogiri tulen, yaitu: Bonaventura Setiaji, militan Arsenal yang gemar melahap soal-soal akuntansi; lalu Andri Wijanarko, calon valuer yang juga penggemar The Virgin; dan terakhir mas Budy Soemardjo, Milanisti asal Jatisrono; berangkatlah kami berempat dari Bintaro menuju ke Senayan, dengan dikawal gerimis ringan.

Hari itu Indonesia akan berhadapan dengan salah satu rivalnya, Negeri gajah putih, Thailand. Menilik rekor pertemuan, Indonesia tak pernah menang kala bersua Thailand di ajang SEA Games dalam lima pertandingan terakhir. Sebagai suporter, yang bisa dilakukan adalah memberi dukungan langsung ke stadion sembari berharap rentetan catatan buruk itu akan berakhir.

*****************

Kuyakin.. hari ini, PASTI MENANG!
Pelataran Gelora Bung Karno sudah dibanjiri lautan merah ketika rombongan saya berhasil menjejakkan kaki di sana. Seperti biasa, calo-calo tiket adalah "penyambut tamu" yang dengan sigap melambai-lambaikan tiket-tiket dari pelbagai kategori sambil berteriak-teriak "Mas, tiket mas", "VIP barat masih ada 3 nih, ngabisin", "Ayo mas daripada ngantri". Ironisnya percaloan bukan cuma dilakukan oknum sipil, bapak-bapak Satpol PP yang entah-apa-fungsinya-di sana juga ikut buka praktek. Jauh lebih parah malah, karena melalui bapak-bapak semacam ini kita cuma bakal disuruh bayar 20 ribu rupiah (FYI harga tiket paling murah 25 ribu), maka kita bisa melenggang kangkung ke dalam stadion TANPA TIKET! What the...

Lupakan ulah oknum-oknum tadi dan mari berdoa saja semoga dosa dan maksiat mereka diberi balasan dari Yang Maha Kuasa, Amin. Berdoa selesai. Sejurus kemudian di depan Masjid Albina, saya bertemu dengan Suhendra Wahyu, suporter setia PSM Makassar yang juga kawan sekelas saya yang baru di wisuda sebulan yang lalu. Berlima, kami menjelma jadi nasionalis yang siap berteriak lantang sepanjang 90 menit laga berjalan.

Tiket ASLI (tampak depan)
Tiket ASLI (tampak belakang)
Berbicara mengenai tiket, saya mengalami keajaiban yang aneh kalau tidak boleh disebut ghoib. Bagaimana bisa tiket yang tadinya saya beli dengan jumlah 4 buah di loket Albina, mendadak bertambah menjadi 5 ketika kami berbaris mengantri di pintu masuk. Padahal sebelumnya, tiket sudah dihitung, diamat-amati dan dibolak-balik berkali-kali, jumlahnya masih empat. Mungkin, 'Mbak penjaga loket yang saya datangi tadi sedang berbaik hati dengan memberikan gratisan satu buah tiket pada saya. Sedihnya, kenapa baru ketahuan saat kita sudah ngantri di depan pintu masuk, padahal kan bisa dijual dulu tuh HAHAHA #MentalAnakKost #GaMauRugi.

Dari ki-ka: Suhe, Andri, Saya, dan Bona
di foto ini tiket masih berjumlah 4
Kick-off baru akan dimulai pukul 19.00 WIB, tapi demi mendapat spot menonton yang paling mantap, belum genap jam 18.00 WIB, kami sudah masuk ke dalam stadion. Luar biasanya suporter Indonesia memang, ternyata tribun dengan view-yang-enak sudah penuh sesak bahkan sampai membludak ke pintu keluar. Edan!. Yang masih terlihat lengang adalah tribun di belakang gawang dan sekitaran tendangan penjuru. Mau tak mau, saya dan kawan-kawan memilih duduk di sana daripada bersesakan di areal penuh manusia tadi. Tak apalah, toh, tribun belakang gawang terkenal sebagai sarang para ultras, serta koordinat paling sakral dimana suporter-suporter berteriak paling lantang. Dari sebuah artikel yang saya baca, menurut penelitian, rata-rata desibel bunyi yang dihasilkan daerah tribun belakang gawang adalah yang paling tinggi dibanding bagian tribun lain.

Rupanya di dalam stadion masih berlangsung pertandingan antara Malaysia melawan Kamboja. Papan skor, ketika saya menghempaskan tubuh pada seat hijau yang terbuat dari kayu, yang masih saja kokoh meski sudah dijejak kasar berkali-kali tiap penonton melompat-lompat girang, adalah 3 -1 untuk keunggulan Harimau Malaya. Kamboja, yang siapapun tahu bahkan jika berhadapan dengan tim dari Divisi Utama kita (Divisi di bawah Super Liga) saja belum tentu menang, malam itu mendapat simpatisan dari rakyat-rakyat Indonesia yang tidak suka dengan Malaysia. Cemooh "BOOOO...", atau yang paling populer "Maling Anjing!" selalu mengudara tiap pemain Malaysia mendapat bola. Kebalikannya, tepuk tangan dan seruan penyemangat berkumandang tiap Kamboja membangun serangan. Saya pun demikian, hitung-hitung sebagai pemanasan.

Bang, mau nonton Arsenal di Emirates sonoh, ini ENDONESA!

Kalau dipikir-pikir, analogi "romantisme" Indonesia-Malaysia persis seperti pada film Alien Vs Predator, "The enemy of my enemy is my friend" :). Ya, siapapun yang berhadapan dengan Malaysia akan jadi "kawan" kita, setidaknya sampai peluit akhir dibunyikan wasit. Sayangnya, Kamboja tetaplah Kamboja, didukung puluhan ribu suporter Indonesia, mereka malah kebobolan lagi di ujung pertandingan. Skor akhir 4 -1 buat Malaysia, dan Kamboja dipastikan gugur dari persaingan merebut medali emas SEA Games. Para pemain Kamboja pada akhirnya melambai-lambaikan tangannya kepada penonton, menyampaikan rasa terima kasihnya atas dukungan yang telah diberikan.

************

Timnas Indonesia dan Thailand sedang melakukan pemanasan (nggak keliatan ya?? Ndeso!)
Satu jam setelahnya barulah laga Indonesia melawan Thailand dimulai. Gemuruh langsung membahana saat kedua tim mulai memasuki lapangan. Tanpa dikomando, koor "IN - DO - NE - SIA... *dung* *dung* *dung* *dung*" langsung mengudara. Benar sekali penelitian yang menyebutkan kalau desibel di tribun belakang gawang jauh lebih tinggi daripada tribun lain. Saya merasakan betul rasanya digelontor gemuruh riuh membahana suara-suara suporter dari pelbagai macam sumber bunyi, mulai dari terompet, genderang, tepuk tangan, sampai lengkingan pita suara, semuanya bermuara di telinga saya. Telinga saya pun tak sanggup menampungnya, sampai berdengung dan membuat kepala pusing. Whew, luar biasa memang.

here we go for our national anthem, Indonesia Raya

Bendera Fair Play sudah menangkup di tengah lapangan, yang artinya, appetizer paling lezat dari menonton langsung sepakbola akan segera dihidangkan. Bagian ini yang paling saya tunggu-tunggu, menyanyikan lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya. Sebelumnya, national anthem milik Thailand lebih dahulu berkumandang. Lagi-lagi masih banyak orang Indonesia yang belum paham bagaimana seharusnya menghormati national anthem milik negara lain. Bukannya diam, mereka malah membunyikan terompet dan genderangnya keras-keras. Lagu kebangsaan Thailand habis berlalu, sekarang giliran Indonesia...
Indonesia, tanah airku. Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku
Indonesia, kebangsaanku. Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu........
Yeah, nothing beats singing that song from the tribune of GBK. Susah digambarkan, bulu kuduk seketika merinding, adrenaline meluap-luap. Ah, sesungguhnya jauh lebih epik daripada itu. Sudah banyak yang mengakui kalau menyayikan Indonesia Raya dari tribun Gelora Bung Karno adalah peristiwa yang paling membuat mereka merasa sangat Indonesia, terlepas dari segala kebobrokan yang ada di negeri ini. Zen Rahmat Sugito, misalnya, pernah menangis, pun Pangeran Siahaan (pemilik Indonesian Football Diary) kerap menuliskan bagaimana ia nyaris selalu menangis tiap menyanyikan lagu ini dari tribun GBK, bahkan kapten Timnas Senior kita, Bambang Pamungkas, mengakui kedahsyatan lagu kebangsaan kita ini melalui salah satu artikelnya di website pribadinya.

sudut Gelora Bung Karno selalu seindah ini
Peluit ditiup, dan pertandingan dimulai. Saya mencoba menikmati jalannya pertandingan sambil menahan sakit kepala. Sungguh sial, sakit kepala ini datang di saat yang tidak tepat, pun di tempat yang tidak tepat. Berharap ada tukang obat keliling di tribun stadion adalah hal yang mustahil, maka satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah menahannya. 15 menit berlalu dan belum juga ada gol, yang ada malahan kartu merah buat bek kiri Thailand akibat menebas kaki Andik Vermansyah yang malam itu turun sebagai starter di sisi kanan penyerangan Indonesia. Melawan 10 orang Thailand sejak menit ke-15, saya yakin cuma tinggal menunggu waktu bagi suporter untuk menyaksikan jebolnya gawang Thailand.

Benar saja, di menit 30-an, kerja sama cerdas Andik dan Hasim Kipuw, diakhiri Kipuw dengan melakukan flick di byline kanan luar kotak penalti Thailand sebelum mengirim crossing ke mulut gawang. Titus Bonai, terima kasih Tuhan ada pemain seperti dia di Indonesia, yang berlari dari sudut blind-side menghantam bola dengan kepalanya. Masuk. Indonesia memimpin. Gelora Bung Karno pecah oleh sorak sorai. Hamburan kepalan tangan dan kibasan syal mengudara dari setiap sisi stadion. Saya, dengan kepala yang sebelumnya pusing, seolah mendapat panacea berkat gol Tibo. Saya ikut larut dalam euforia, pun juga Bona, Andri, Suhe dan mas Budy. Sayang, tak ada gol lagi yang lahir sampai wasit mengakhiri babak pertama. Babak pertama berakhir 1-0 untuk keunggulan Indonesia.

Bona, lebih fokus mengamati IGO di depannya
Indonesia dengan strategi direct diagonal pass khas Coach RD menguasai pertandingan di babak pertama. Thailand sendiri tak mampu menembus sampai ke kotak penalti kita, mereka hanya mengandalkan long-shoot dengan akurasi payah dan seorang Ronnachai Rangsiyo sebagai lone-striker yang selalu habis ketika bertemu duet center-back Abdurrahman-Gunawan Dwi Cahyo. Jeda waktu istirahat pertandingan saya manfaatkan untuk membeli air mineral dan sekotak nasi kuning, dengan harapan supaya penat di kepala sedikit mereda. Sungguh tidak enak menonton sepakbola sambil memegangi kepala padahal tim jagoanmu sedang unggul.

Yang lucu dari pengamanan sepakbola Indonesia adalah, sebelum masuk stadion, penonton yang membawa botol air akan disita botolnya (dengan alasan supaya botolnya tidak dilempar ke lapangan) dan ditukar dengan plastik sebagai pengganti wadah, tapi di tribun adalah jamak kau menjumpai penjual air mineral botolan yang bisa kau beli dengan mudah, dan botolnya juga bisa dilempar ke lapangan, bahkan ke kepala pak polisi yang menyita botol air yang kau bawa masuk tadi. Klise dan sungguh tak bermutu.

Di babak kedua, tekel (yang sebenarnya bersih) dari Abdurrahman di areal penalti kepada Rangsiyo berbuah hadiah penalti bagi Thailand. Wasit, yang sempat jadi pujaan publik dengan keputusannya meng-kartu merah pemain Thailand, langsung jadi bahan cemooh se-antero stadion. Sementara itu, Rangsiyo, yang mengambil sendiri tendangan penaltinya, sukses mengelabui Kurnia Meiga. Gol. Thailand menyamakan kedudukan. Penonton terdiam, tapi tidak lama. Karena koor "IN - DO - NE - SIA... *dung* *dung* *dung* *dung*" mengudara lagi tak lama setelahnya, mencoba membangkitkan lagi semangat buat Garuda-Garuda Muda.

"Kami berdua tidak suka makan sosis so nice" kata Bona dan Andri serempak
Terpujilah wahai Patrich Wanggai. Jelmaan Nicolas Anelka bernomor punggung 27 itu belum bosan mencetak gol rupanya. Sundulan kepalanya, yang berawal dari skirmish di mulut gawang Thailand, menjadi gol keempatnya sepanjang pergelaran SEA Games. Indonesia kembali unggul. Gelora Bung Karno bergemuruh lagi. Saya, ikut merayakan gol, sambil menahan sakit kepala yang masih saja jadi musuh dalam selimut. "IN - DO - NE - SIA... *dung* *dung* *dung* *dung*".

Thailand seolah mati akal ketika bukannya gol yang mereka ciptakan, melainkan malah kartu merah lagi yang harus diterima. Lagi-lagi Andik Vermansyah, arek Suroboyo yang belum genap berusia 20 tahun itu, yang jadi biang kerok kartu merah Thailand. Sprint kencangnya dari tengah lapangan harus dihentikan secara paksa oleh pemain Thailand yang akhirnya berbuah kartu kuning kedua. Wasit, sontak popularitasnya melejit lagi, bak band ternama yang telah lama vakum dan akhirnya kembali menelurkan album. Tepuk tangan menjadi ganjaran setimpal yang patut diberikan kepada sang wasit. Saya yakin, sejak kartu merah itu, pelatih-pelatih Thailand juga mengalami sakit kepala, sama dengan saya.

mas Budy dan Suhe tampak tegang, semacam kebelet boker

Memasuki injury-time, mas Budy mengajak untuk keluar duluan, demi agar tidak terjebak dalam kemacetan arus keluar GBK. Saya, dengan kepala yang makin pusing, mau tak mau mengiyakan karena semakin cepat saya pulang, maka saya akan semakin cepat bertemu dengan obat sakit kepala. Walaupun harus melanggar prinsip utama suporter: "Pantang pulang sebelum peluit dibunyikan", ketahuilah hanya keadaan yang memaksa saya begitu. Jadilah saya, Bona dan Andri menyusul mas Budy keluar duluan. Sementara Suhe, masih bertahan di tribun sampai akhir pertandingan.

Pikir saya tak akan ada gol lagi yang bakal tercipta di sisa pertandingan. Tetapi rupanya Tuhan bekehendak lain, sampai di lantai paling bawah, sorak sorai kegembiraan terdengar lagi. Saya masih mengira kalau itu adalah sorak sorai peluit akhir dibunyikan. Tapi kemudian Bona memberi tahu saya kalau ada gol lagi, dan dia terlihat sangat menyesal tidak bertahan di tribun sampai akhir pertandingan. Ketahuilah, Bon, saya juga menyesal.

Andri, dengan bendera merah putih hasil pinjamannya (masih dengan ekspresi yang sama dgn foto sebelumnya)
Belakangan saya baru tahu, adalah Ferdinand Alfred Sinaga, anak batak yang mengalami perkembangan pesatnya di tanah Papua bersama Persiwa Wamena, orang yang golnya tak sempat saya saksikan itu. Umpan terukur dari Patrich Wanggai ditutupnya dengan sebuah placed-shot ke gawang Thailand. Jadilah malam itu skor akhir menjadi 3 -1 untuk kemenangan Indonesia.

Rentetan catatan buruk tak pernah menang di ajang SEA Games saat bersua Thailand akhirnya berhasil diputus, sekaligus memastikan kelolosan Indonesia ke fase semifinal. Sementara Thailand, harus mengakhiri kiprahnya lantaran sudah tak mungkin mengejar perolehan angka milik Indonesia dan Malaysia. Garuda Muda, sekali lagi, menunjukan keperkasaannya. Jangan lengah, jangan terlena, jalan masih panjang. Maju terus Garuda Muda.
Ayo.. Ayo.. Ayooo... Indonesia Bisa!
Adios - Gale

4 komentar:

  1. jegerrr lagi maca aku huahahaha

    BalasHapus
  2. asemmm, nganggo jegerrr barang. Koyo komentator ISL wae :D

    BalasHapus
  3. penggemar THE VIRGIN?? sungguh melanggar pasal pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter... asemik :D

    BalasHapus