Kamis, 15 Desember 2011

#KamisKeBioskop : Sang Penari

Selama "liburan" ini, praktis, saya tak banyak memiliki kegiatan yang berarti buat dituliskan di blog ini. Banyak faktor yang membuat saya harus membatasi gerak-gerik saya selama masa "digantung" ini, dan hal yang paling umum serta maslahat tentu saja urusan duit. Yap benar, tak banyak alasan yang bisa saya lontarkan kepada Ibu, yang berlaku sebagai pemegang kendali penuh atas neraca keuangan keluarga, untuk membuka gerbang bailout bagi isi dompet serta ATM saya yang kian hari makin terkebiri ini *kemudian mengheningkan cipta*.

Tapi nasib memang kesunyian milik masing-masing, maka ketika saya terjebak dalam dilema "Minta uang segan, kerja tak dibolehkan", saya cuma bisa pasrah menyongsong nasib. Habis mau bagaimana lagi, mau ngerampok rumah tetangga, harus beli senjata dulu, uang saya saja tak cukup buat beli golok, pun pistol mainan, apalagi pistol beneran (¬_¬"), jadilah rencana merampok saya urungkan sejak dalam pikiran. Modal awal nggak memadai untuk merintis usaha di jalur ini.

Kemudian kalau jadi copet, yang notabene nggak butuh modal senjata, lagi-lagi saya harus menyalahkan nasib. Behh, asal tahu saja, telapak tangan saya ini gedenya nggak beda jauh sama telapak kaki Tapir Amsterdam, maka kalau harus nyelip-nyelip di kantong-kantong celana orang, takutnya justru kesangkut dan malah nggak bisa keluar (pfftttt). Lha wong ngambil duit sendiri di kantong celana sendiri aja kadang-kadang sering stuck ini tangan susah keluar (.___.'). Walhasil saya bisa-bisa justru dirajam dengan membabibuta sama penumpang-penumpang bis, alih-alih dapet barang copetan.

Alternatif berikutnya adalah ngepet. Akan tetapi kalau harus ngepet, saya harus nyari dulu partner in crime yang se-iyasekata, se-irama, se-pikiran, se-agama (lah apa hubungannya??), dan senasib sepenanggungan. Setelah menimbang di puskesmas terdekat secara masak-masak, serta memikirkan dosa yang harus saya tanggung di akhirat kelak, jadilah rencana untuk ngepet saya abaikan dan memilih untuk pasrah menghadapi hari-hari kebangkrutan *naikin bendera setengah tiang*. Hmm baiklah, sudah cukup saya ngelanturnya. Sekarang saatnya KEMMMBAALI KE LAAAPP....TOP!!

T*ket, eh tiket ini membawa dampak sistemik puasa selama 5 hari ke depan (.__.')
Nah, sesuai judulnya yang #KamisKeBioskop, maka pada kali ini saya sedang menghabiskan waktu (dan uang tentu saja T_T) di hari Kamis yang ketiga pada bulan Desember ini dengan mengunjungi bioskop. Jadi #KamisKeBioskop ini sebenernya semacam gerakan (eh gerakan beneran bukan ya?) yang menganjurkan kita untuk nonton di bioskop pada hari Kamis, terutama buat nonton film-film Indonesia. Terus kenapa harus nonton hari Kamis?? karena eh karena, ada banyak faktor yang melandasi hal tersebut, yaitu:
  1. Nonton di hari Kamis masih masuk dalam kategori nomat, dimana biasanya harga tiketnya lebih murah daripada nonton di hari Jum'at, Sabtu, Minggu, atau hari libur. Jadi bisa ngirit biaya #MentalAnakKost.\(´▽`)/
  2. Hari Kamis biasanya adalah hari pertama naiknya sebuah film, atau bisa dibilang sebagai hari pemutaran perdana (selain gala premiere tentunya), jadi dengan nonton di hari pertama, kita bisa bikin impresi yang bagus buat kelangsungan film ini selama seminggu kedepan.
  3. Hari Kamis juga, biasanya, digunakan sebagai hari untuk me-review pendapatan dan rating yang dihasilkan dari pemutaran sebuah film di suatu teater. Kalau bagus, film-film ini bakal dipertahankan untuk terus diputar lagi, tapi kalau rating penontonnya jeblok, maka siap-siap saja di hari Jum'at, film ini bakal turun dan diganti dengan film-film baru yang sudah ngantri buat ditayangin.
  4. Intinya #KamisKeBioskop ini adalah untuk men-support perfilman Indonesia, agar tak berkutat di genre yang horror tak menakutkan-komedi kentang-film remaja setengah vulgar melulu. Bahwa sebenarnya banyak film-film Indonesia yang sebenernya bagus, dan layak tonton. Tapi ya semua kembali kepada masalah selera, yang memang tak bisa diperdebatkan, karena selera adalah keriuhan milik masing-masing.
    Poster Film Sang Penari
    Saya sebenarnya adalah orang yang tak begitu sering berkelana ke bioskop, tapi berkat rasa jenuh yang sudah menggunung akibat masa-reses-yang-entah-kapan-akan-berakhir-ini, saya akhirnya memutuskan untuk refreshing sejenak ke bioskop sekaligus mempraktikkan #KamisKeBioskop. Dan untuk #KamisKeBioskop edisi kali ini (semoga bakal ada edisi selanjutnya :p), saya memilih untuk menonton "Sang Penari", sebuah film yang diadaptasi, atau mungkin lebih tepatnya terinspirasi, dari novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari. Maka sebagai persiapan untuk lebih khidmat dalam menikmati filmnya, saya sudah menamatkan ketiga seri novelnya terlebih dahulu sebelum menonton filmnya (FYI, novel Ronggeng Dukuh Paruk, dibagi menjadi 3 seri, yakni Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala).

    Novel Trilogi - Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, susah nih nyari versi print-out nya
    Sebetulnya film ini sudah lama diputar di bioskop, bahkan di beberapa bioskop Jakarta (salah satunya bioskop dekat rumah saya, sebut saja 21 Tamini Square) sudah lama juga turun dari penayangannya. Sesuatu yang sempat saya sesali kenapa dulu tak bersegera menontonnya ketika masih "hangat-hangat tahi" di bioskop. Beruntunglah saya, karena film ini kemudian meraih pelbagai penghargaan di ajang Festival Film Indonesia sehingga membuatnya naik layar lagi di beberapa bioskop, salah satunya di XXI Bintaro Plasa. Maka kemudian meluncurlah saya hari Kamis itu (15/12/2011) ke wilayah imperium Bintaro Jaya, guna menyaksikan film ini bersama Rahmat dan Suhe, dua orang yang senasib se-pengangguran seperti saya, setelah sebelumnya berhasil saya pengaruhi serta hipnotis sehingga mau membelanjakan uangnya untuk nonton film ini.

    Hmm.... sepertinya pendahuluan saya terlalu panjang ya? Jadi daripada makin kepanjangan dan ngelantur, kita langsung saja masuk ke pokok permasalahan dari tulisan ini : Review filmnya! yuk, mari kita lezgooo...


    Garis Besar
    Sudah jadi rahasia umum, kalau film yang diangkat dari sebuah novel pasti tidak akan sama seperti versi novelnya. Akan terjadi distorsi di sana-sini serta beberapa alur yang dihilangkan. Begitu pula dengan film Sang Penari ini. Dan untuk yang ber-ekspektasi film ini akan mirip-mirip dengan versi novelnya mungkin akan sedikit kecewa, saya termasuk di golongan ini. Distorsi yang dibuat  Ifa Ifansyah selaku sutradara di film ini cukup banyak juga dan beberapa penghilangan alur yang dilakukannya kadang-kadang malah membuat cerita agak lost.

    Film ini dibuka dengan scene dimana Rasus (diperankan Oka Antara), yang sudah jadi tentara, pulang ke Dukuh Paruk untuk menjenguk neneknya yang sedang meregang nyawa dalam usia senjanya. Rasus kemudian di tengah perjalanan bertemu dengan Kang Sakum, penabuh kendang (kalau di bukunya, Sakum adalah penabuh calung) dari rombongan ronggeng dukuh paruk. Kemudian terjadi flashback tentang masa silam Dukuh Paruk; tentang malapetaka racun tempe bongkrek, tentang hubungan Rasus dengan Srintil (Prisia Nasution), tentang bagaimana Srintil akhirnya ditahbiskan sebagai ronggeng, tentang malam buka klambu, dan juga kepergian Rasus. Semuanya diceritakan dalam alur yang cepat dan melompat-lompat, sehingga bagi pembaca novelnya, yang terbiasa dimanjakan alur santai dan runtut khas tulisan Ahmad Tohari, film ini akan terasa sangat skip. Mungkin akan lain halnya bagi penonton yang sebelumnya belum membaca versi bukunya. Beruntung film ini masih mempertahankan pisuhan (umpatan) khas dalam bukunya seperti misalnya "Asu Buntung" dan "Bajul Buntung", sungguh scene yang keren melihat orang-orang ramai mengumpat seperti itu di film ini.

    Srintil dan Rasus jauh lebih keren daripada Fitri dan Farel *dikeplak ibu-ibu se-RT*
    Oka Antara yang juara
    Harus diakui, akting Oka Antara di film ini benar-benar bagus. Sepuluh jempol saya berikan buat Oka yang berhasil memerankan Rasus, yang pada masa mudanya sangat culun dan berbadan bungkuk, untuk kemudian ber-evolusi menjadi Rasus yang gagah dan berbadan tegap, setelah masuk tentara. Selain itu Oka juga berhasil menjalani dialek ngapak Banyumasan, dengan sangat natural. Salah satu scene yang paling menyita perhatian saya adalah ketika Rasus memanjat pohon kelapa. Sangat nostalgik. Karena sudah lama sekali saya tak melihat adegan memanjat pohon kelapa. Bahkan di kehidupan nyata sekalipun. Dan Oka Antara, berhasil memanjat pohon kelapanya sendiri, tanpa stuntman. Keren. He could win an oscar, absolutely.

    Srintil setelah sukses "menghajar" kliennya dengan kemenangan TKO :p
    Srintil yang kurang menyentil
    Lain soal dengan Prisia Nasution. Penunjukan Pia sebagai Srintil sebetulnya patut dipertanyakan. Pia, yang notabene biasa memerankan lakon sebagai cewek tomboy yang judes dan pandai bersilat, kini didaulat sebagai ronggeng, duta keperempuanan paling ilahi dengan pembawaan anggun serta kenes yang dianugerahi kemampuan nembang dan menari. Tantangan besar tentunya buat Pia, dan sebagai penonton, saya tak terlalu berharap muluk-muluk akan akting istimewa dari dirinya. Pia boleh dibilang tidak gagal memerankan Srintil meski aktingnya tak terlalu luar biasa. Pada scene meronggeng, terlihat gerakan menari Pia masih agak kaku dan kurang luwes. Pacak gulu-nya juga kurang anggun. Pia masih sedikit tertolong berkat gerakan seblak sampurnya yang elegan, serta eye-contact penuh aura mistis khas seorang ronggeng yang berhasil dia tampilkan. Satu hal lagi, bahwa kenyataan ketika Pia mulai nembang, suaranya memang tak begitu merdu sehingga kesan ronggeng jadi kurang tertangkap darinya. Tapi overall, Pia sudah berhasil menjadi Srintil, meski tak begitu impresif sebagai ronggeng.

    Tak sepersis versi buku
    Film ini boleh dibilang adalah pentasnya Rasus, bukan Srintil, seperti di versi bukunya. Sangat kelihatan bahwa alur yang hendak disorot adalah kehidupan Rasus, yang semula hanyalah pemuda antah berantah yang dilingkari kebodohan dan kemiskinan, yang menjelma menjadi tentara gagah berani, untuk kemudian membebaskan Srintil dari rumah tahanan pasca keterlibatan rombongan ronggeng dukuh paruk dengan geger kisruh komunisme tahun 1965. Srintil sendiri, hanya ditokohkan secara sekilas-sekilas dan lompat-lompat. Cukup sulit memang merangkum tiga buah novel ke dalam satu film berdurasi tak sampai 2 jam.

    Srintil melantai dengan elegan
    Di akhir film, ditampilkan bagaimana Srintil kembali meronggeng, meski tidak full band, hanya didampingi Kang Sakum yang mengalun kendang, dari sudut ke sudut Pasar Dawuan layaknya seniman jalanan. Rasus kemudian menghampirinya, dan sekali lagi, memberikan keris kecil yang menjadi simbol keronggengan Dukuh Paruk kepada Srintil. Scene diakhiri dengan perjalanan Srintil dan Sakum pulang menyusuri jalan membentang di pematang sawah menuju Dukuh Paruk. Sebuah ending yang bertolak belakang dengan versi bukunya, karena pada versi bukunya, Srintil berakhir menjadi orang gila. Sementara di filmnya, Srintil digambarkan masih memiliki harapan panjang, sepanjang jalan pulang yang membentang di hadapannya.

    Kesimpulan
    Overall, film ini cukup bagus, terbukti dengan keberhasilannya menggondol gelar Film Terbaik di Festival Film Indonesia 2011 kemarin, plus memunculkan Ifa Ifansyah sebagai Sutradara Terbaik, Prisia Nasution sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Dewi Irawan (Nyai Kartareja) sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Saya sendiri sih akan memberi nilai 7,5 / 10 buat film ini. Masuk dalam kategori Prominen. Bagus, tapi tak terlalu istimewa.

    Yak, saya rasa cukup sampai demikian saja tulisan saya, yang boleh dibilang sebagai review dari film Sang Penari. Dan karena kesempurnaan hanyalah milik Gusti Allah semata, bukan milik Andra and the Backbone apalagi Gita Gutawa, saya menyampaikan permohonan maaf apabila tulisan saya ini mengandung cela disana-sini. Melulu karena tulisan ini dibuat hanya berdasarkan insting dan ke-sotoy-an saya belaka sebagai penikmat sinema. Sampai jumpa lagi di edisi #KamisKeBioskop yang selanjutnya (semoga saja ada :D), Bravo Sepakbola Indonesia!!.

    Sekian.
    Adios - Gale

    ~Foto dan gambar diambil dari:

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar