Senin, 20 Februari 2012

To Lin-finity, And Beyond!



Apa yang kita lakukan ketika tahu seseorang yang biasa disepelekan atau dianggap remeh tiba-tiba melakukan sesuatu yang spektakuler dan luar biasa? Bertingkah apatis dan tidak simpatik mungkin masih bisa dimaklumi bila sesuatu yang spektakuler itu cuma terjadi sekali-dua kali saja, tapi bagaimana kalau sesuatu yang luar biasa itu terjadi berkali-kali dalam kontinuitas yang konstan? Hmm, mari lontarkan pertanyaan tersebut kepada jutaan manusia yang menggandrungi bola basket, terutama kompetisi NBA, perihal melejitnya seseorang yang tadinya "bukan siapa-siapa" menjadi sosok "siapa lagi kalau bukan dia?". Ya, tidak salah lagi, ini adalah melulu soal Jeremy "Linsanity" Lin, point guard New York Knicks yang beberapa minggu belakangan menggemparkan jagad basket dunia.

Bagi kita yang lebih familiar dengan nama Jeremy Teti atau Jeremy Thomas, nama Jeremy Lin tentu bukanlah sebuah kelaziman. Wajar, karena bahkan hingga satu bulan yang lalu pun, nama Lin belum go public seperti sekarang ini, bahkan boleh dibilang sama sekali tidak terkenal. Jadi, siapa sih sebenarnya si Jeremy Lin ini?

Jeremy Shu-How Lin, begitulah nama lengkapnya, adalah seorang pemuda Amerika keturunan Taiwan. Ayahnya yang bernama Gie Ming, merupakan seorang imigran dari Taiwan yang kemudian menikah dengan seorang wanita Amerika bernama Shirley. Talenta basketnya yang hebat sebenarnya sudah terlihat sejak ia duduk di bangku high school. Hanya saja statusnya sebagai orang keturunan Asia lah yang membuat karir basketnya sempat tersendat. Sebab, di Amerika sana memang beredar stereotipe kalau orang-orang Asia itu dianggap kurang jago main basket. “It’s a sport for white and black people, but you don’t get respect for being an Asian American basketball player in the U.S.” kata Lin sendiri mengamini stereotipe tersebut.

Karir Lin dimulai setelah ia kelar menyelesaikan studi ekonominya di Harvard dengan IPK yang cukup bagus: 3.1 (yap, si Lin ini selain jago basket juga cerdas dalam akademis). Sialnya, Lin kemudian mendapati fakta tidak adanya tim NBA yang berniat mengontraknya meskipun statistiknya selama 4 tahun memperkuat tim basket Harvard cukup mengagumkan: 1483 points, 483 rebounds, 406 assists dan 225 steals. Cukup beralasan sih, Harvard memang dikenal sebagai pabriknya profesor-profesor jenius dan kaum cendekia lainnya, tapi atlet basket yang hebat? jelas bukan output yang ideal dari kampus tersebut. Karenanya nyaris tidak ada tim NBA yang mengirimkan scouting talent-nya ke Harvard, hal ini lah menyebabkan bakat hebat Lin tidak terekspos sebagaimana mestinya. Ya, lagi-lagi sebuah stereotipe lah yang menghambat perjalanan bintang kita ini.

Setelah sempat berstatus undrafted selama beberapa saat, Jeremy Lin akhirnya dikontrak oleh Golden State Warriors pada musim 2010/2011. Semusim bersama Warriors, Lin gagal bersinar dan menyelesaikan musim dengan catatan minimalis 2,6 points per game. Dianggap gagal, Lin pun di release dan sempat dikontrak-tanpa garansi oleh Houston Rockets pada awal musim ini. Hanya bertahan dua minggu di Houston karena dianggap kurang bagus, Lin kembali dilepas dengan status free agent. Beruntung, New York Knicks kemudian mengambilnya meski lagi-lagi dengan kontrak-tanpa garansi yang bisa diputus kapan saja seperti yang dilakukan Houston Rockets.

Awal karirnya di Knicks pun tak mulus-mulus amat. Lin hanya menjadi point guard lapis kelima, saya ulangi lagi hanya lapis kelima! yang artinya kesempatannya untuk bermain boleh dibilang sangat-sangat tipis. Ia bahkan sempat dikirim oleh manajemen Knicks ke Erie Bayhawks, sebuah tim D-League -- semacam Liga reserves di bawah naungan NBA -- pada pertengahan Januari sebelum akhirnya ditarik lagi ke tim utama Knicks menyusul cederanya dua bintang utama Knicks, Baron Davis dan Carmelo Anthony, serta absennya Amare Stoudemire karena alasan keluarga.

Toh, hal tersebut tidak lantas membuat Lin mendapat kesempatannya, Knicks malah sempat berpikir untuk melepas Lin untuk mendapat slot kosong supaya bisa mendatangkan pemain baru. Statusnya sebagai pemain keturunan Asia memang memunculkan keraguan tersendiri bagi coach Mike D'Antoni untuk memberinya kesempatan unjuk gigi. “I think if I were a different race, I would've been treated differently.” keluh Lin pada suatu wawancaranya dengan sebuah media.

Kesempatan Lin baru datang ketika Knicks bertandang melawan Boston Celtics, pada awal Februari. Lin yang hanya tampil selama 20 menit mampu mengemas 9 points dan 6 assists, meskipun Knicks akhirnya kalah 81-90. Selanjutnya adalah sejarah. Lin mulai makin sering mendapatkan kesempatan bermain dan langsung membayarnya dengan performa gemilang.

*****

4 Februari silam -- saya ingat betul hari itu -- akun twitter resmi NBA (@NBA) yang saya follow tiba-tiba berkoar-koar soal penampilan fantastis Jeremy Lin ketika New York Knicks menggilas New Jersey Nets 99-92. "What a night for Jeremy Lin. Lin led the Knicks to a 99-92 victory over the Nets. Off the bench Lin scored a career-high 25 and had 7as & 5r" begitu bunyi tweet mereka kala itu. Lin yang tampil sebagai bench player secara mengejutkan berhasil mengangkat permainan Knicks, yang sedari kuarter pertama selalu tertinggal dari Nets, dengan mengemas 25 points, 5 rebounds, dan 7 assists. Dari sini cikal bakal virus #Linsanity akan meledak mulai tercium.

Pertandingan berikutnya melawan Utah Jazz, Lin tampil sebagai starter untuk pertama kalinya dan menutup gim tersebut dengan catatan yang tak kalah impresif, 28 points dan 8 assists. Gim melawan Washington Wizards tiga hari berselang, menjadi pandemonium bagi #Linsanity. Jeremy Lin mengatrol kemenangan 107-93 Knicks atas Wizards, dengan mencetak double-double pertamanya: 23 points dan 10 assists. Di pertandingan itu juga, Lin mencetak sebuah huge dunk ketika tubuh kecilnya berhasil memperdaya center Wizards, Tony Wall, yang punya badan jauh lebih bongsor daripada dia. Saya melihat rekaman dunk-nya di youtube berulang-ulang sambil terheran-heran "Wow, this kid really got some guts and talent."

Akan tetapi ternyata itu bukanlah peak performance dari seorang #Linsanity. Keesokan harinya, barulah Jeremy Lin meledakkan jagad basket dunia sekaligus meruntuhkan stereotipe-stereotipe yang terpatri pada dirinya. Ya, 10 Februari boleh jadi adalah tanggal yang paling bersejarah bagi Lin. Menghadapi Los Angeles Lakers dengan sederetan pemain bintangnya, termasuk sang superstar: Kobe "Black Mamba" Bryant, Lin membukukan high score-nya dengan torehan 38 points dan 7 assists. Teriakan "Linsanity, Linsanity!" dari ribuan manusia yang memakai kostum bernomor 17 milik Lin menggema di Madison Square Garden kala itu -- sekedar info saja, semenjak #Linsanity merebak, grafik penjualan kostum Lin meningkat drastis hingga 3000% dibanding sebulan sebelumnya. "Ini benar-benar telah menjadi pekan yang ‘liar’ untukku," kata Lin saat diwawancara usai gim tersebut.

Dan Jeremy Lin rupanya masih belum mau berhenti meneruskan pesta #Linsanity setelah prestasi hebatnya ketika melawan Lakers. Gim selanjutnya menghadapi Minnesotta Timberwolves, Lin meneruskan penampilan impresifnya dengan mencetak 20 points dan 8 assists. Selanjutnya, saat menghadapi Toronto Raptors, Jeremy Lin mencetak sebuah milestone ketika 27 points-nya, termasuk three points yang jadi penentu kemenangan Knicks 90-87 atas Raptors, membuatnya melampaui rekor 129 points milik Shaquille O'Neal sebagai pemain yang paling banyak membukukan poin dalam 5 game pertamanya sebagai starter. Jeremy Lin telah membukukan 136 points dari 5 gim pertamanya sebagai starter, alias 7 points lebih banyak dari torehan milik Shaq. Yap, bocah berdarah Asia lulusan kampusnya para kutu buku itu telah berhasil menghancurkan stereotipe-stereotipe negatif tentang dirinya dengan gemilang.

Apa yang dilakukan Jeremy Lin telah mengajarkan kepada kita untuk selalu bekerja keras dan menyetiai prinsip yang kita pegang. Seberapa banyak dari kita yang mau terus bersetia pada proses serta tidak mudah putus asa meski kerap dilanda pelbagai macam kendala? Sering kali kita justru lebih tergoda untuk mengambil jalan pintas ke garis finish atau malah berhenti di tengah perjalanan sambil mengibarkan bendera putih ketika merasa tak lagi mampu menanggung resiko dari pilihan yang kita ambil. Sebab sejatinya, sukses tidak datang dengan sekali berusaha, kerja keras dan kesetiaan pada pilihan yang kita ambil adalah kuncinya. Lin sudah membuktikannya, dan kita pun bisa mencontohnya dalam kehidupan kita.

*****

Kini, pelan tapi pasti, beberapa orang pun mulai bertanya-tanya sampai kapan euforia #Linsanity ini mampu bertahan, lalu apakah Lin mampu menjaga konsistensinya sekaligus menahbiskan dirinya menjadi salah satu point guard terbaik di ranah NBA? Sampai sejauh ini sih, nyaris tidak ada yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Kebanyakan dari pengidap virus #Linsanity lebih senang berharap dan mendoakan supaya bendera Lin tetap berkibar tinggi di kompetisi NBA. Lin sendiri juga cuma menanggapi dengan santai “I don’t know how would it end up. Hope for the best, prepare for the worst,” simpel dan bersahaja.

Ah, daripada sibuk mempermasalahkan mengenai endurance dari Jeremy Lin di level tertingginya, akan lebih baik jika kita ikut larut saja dalam pesta meriah #Linsanity yang spektakuler ini. Meminjam slogan milik Buzz Lightyear dalam film animasi Toy Story, mari berteriak bersama-sama, "To Lin-finity, and beyond!".



Adios - Gale

~gambar bersumber dari : http://www.jimrome.com/
http://catatan-r10.blogspot.com/2012/02/jeremy-lin-hebohkan-dunia-linsanity.html

2 komentar: