Rabu, 15 Agustus 2012

Enigma Sepakbola Nasional

~tulisan ini juga bisa dibaca di kolom BeritaSatu : http://www.beritasatu.com/blog/olahraga/1846-enigma-sepak-bola-nasional.html


Saya kerap kebingungan saban menyimak berita-berita soal sepak bola nasional belakangan ini. Selain karena beritanya yang lebih sering berisi hal-hal yang nyeleneh, informasinya juga kerap tidak konsisten dan mudah berubah-ubah.

Kala waktu di media berujar A, tapi beberapa hari kemudian yang terjadi malah B. Inkonsisten, asbun, dan membikin kita yang menonton ingin membentur-benturkan kepala ke tembok.

Misalnya saja soal boleh tidaknya pemain-pemain dari kompetisi Indonesian Super League (ISL) –yang diorganisir oleh Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI)– untuk memperkuat timnas di ajang internasional.

Kita semua tahu bahwa awalnya PSSI melarang seluruh elemen yang berkecimpung dalam kompetisi ISL untuk turut berpartisipasi dalam agenda-agenda timnas. Mulai dari pemain, pelatih, manajer tim, bahkan sampai dengan wasit, semuanya masuk dalam daftar hitam yang tak boleh ikut campur dalam segala tetek bengek persoalan timnas, kecuali sebagai penonton.

Kemudian muncul  berita mengejutkan. PSSI dan KPSI dikabarkan telah berdamai dan sepakat untuk menyamakan persepsi mereka demi kemajuan persepakbolaan nasional  Hal yang kemudian disimbolkan dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) antara keduanya pada awal Juni silam.

Pasca ditandatanganinya MoU tersebut, pintu bagi pemain-pemain yang merumput di ISL untuk (kembali) memperkuat timnas sepertinya akan terbuka lebar-lebar. Hal ini juga sesuai dengan keinginan KPSI yang menuntut persamaan hak dalam membela timnas, antara pemain ISL dan IPL.

Tapi seperti sebuah film yang mengadaptasi kisah novel, kadang hitam di atas putih yang tercetak bisa sangat berbeda dengan gerak laku dalam adegan. Beberapa hari setelah penandatanganan MoU, KPSI justru memutuskan untuk melarang pemain-pemain dari ISL untuk bergabung dengan timnas. Alasannya apa? Saya juga tak begitu paham.

Konon sih, karena KPSI merasa PSSI bertindak semaunya dalam mengirimkan perwakilan ke Liga Champions Asia, yang hanya mengikutkan wakil dari IPL saja. Alasan lainnya adalah karena kompetisi ISL masih bergulir dan tengah memasuki pekan-pekan akhir sehingga menuntut konsentrasi penuh dari setiap partisipannya.

Ah, tapi dalam rimba sepak bola kita yang selalu direcoki motif-motif terselubung, sulit untuk menarik sebuah kesimpulan yang benar-benar definitif. Segalanya serba nisbi serta penuh dengan enigma. Sulit untuk bisa percaya begitu saja.

Kondisi persepakbolaan nasional belakangan ini memang benar-benar abnormal. Induk organisasinya saja ada dua. Kompetisi liganya juga ada dua. Beberapa klub yang berkecimpung di dalamnya –misalnya Persija, Persebaya, dan Arema – pun, ikut membelah diri laksana amoeba menjadi dua, bahkan ada yang tiga. Yap, keadaan sepak bola Indonesia memang tak ubahnya tagline iklan produk wafer di televisi : “Satu mana cukup?”

Segala imbas dari dualisme tadi, toh pada akhirnya akan bermuara ke timnas juga. Bagaimana tidak, punya satu timnas yang berisikan kumpulan bakat-bakat terbaik di kolong langit bumi pertiwi ini saja kita masih kesulitan untuk berprestasi, apalagi jika kekuatan timnasnya terpecah belah menjadi dua kutub. Sudah barang pasti prestasi timnas jadi semakin butut dan inferior.

Tersingkir dari ajang kualifikasi Piala Dunia 2014 sebagai juru kunci – ditambah dengan embel-embel memalukan dibantai 10 – 0 oleh Bahrain – sudah cukup membikin muka kita merah padam. Eh, tak lama berselang  timnas U-21 malah gagal juara di ajang ecek-ecek bertajuk Piala Sultan Hasanah Bolkiah. Andik Vermansyah dkk takluk oleh tuan rumah Brunei Darussalam, dua gol tanpa balas.

Compang-camping prestasi timnas akan makin kronis jika ikut menghitung gagalnya timnas U-22 lolos ke ajang Piala Asia U-22 setelah hanya mampu bercokol di peringkat ketiga penyisihan Grup E, di bawah Jepang dan Australia.

Belum lagi dengan kekalahan telak enam gol berbalas nihil kala menjamu Malaysia dalam laga ujicoba beberapa waktu lalu. Resmi sudah sepakbola kita mengalami dekadensi prestasi, bukan lagi stagnasi.

Tidak akan ada prestasi yang sudi menghampiri selama dualisme ini tidak kunjung berhenti. Selama belum ada titik temu antara PSSI dengan KPSI, selamanya timnas akan melulu direcoki hal-hal yang berkaitan dengan faktor non teknis. Dan selama itu pula, sepak bola kita akan terus menerus berjalan mundur. Menjauh dari prestasi.

Kini, sepak bola Indonesia akan memasuki fase paling substansial bagi kelangsungan hidupnya. Kedua kompetisi yang digelar sudah berakhir dan memunculkan juara dari masing-masing kubu.

Sriwijaya FC menjadi juara ISL, sementara Semen Padang keluar sebagai kampiun IPL. Inilah titik yang paling tepat untuk melakukan konsolidasi atas segala dualisme yang telah terjadi.

Bagaimana kelanjutan kompetisi musim depan, apakah akan dilakukan penyatuan kompetisi antara ISL dan IPL, bagaimana nasib klub-klub yang mengalami dualisme kepengurusan, bagaimana persoalan gaji pemain yang masih ditunggak sebagian besar klub, serta yang paling penting, bagaimana persiapan yang akan dilakukan timnas menuju perhelatan Piala AFF, adalah enigma-enigma yang harus segera dituntaskan oleh PSSI dan KPSI untuk menentukan hendak dibawa kemanakah sepakbola Indonesia ke depannya.

Dengan Piala AFF yang akan segera digulirkan dalam hitungan bulan, apabila kisruh dualisme ini tidak segera dikonsolidasi, di saat negara-negara lain yang sudah mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari, kita mungkin tidak akan terlalu terkejut lagi jika pada akhirnya Indonesia tumbang lebih awal di fase kualifikasi grup.

Hmm, semoga saja tidak demikian.


Adios - Gale

Tidak ada komentar:

Posting Komentar