Minggu, 26 Agustus 2012

Menunggu Air Bah dari Noah


Saya tahu, dia tahu, anda tahu, dan mungkin semua orang juga sudah tahu, bahwa terhitung sejak tanggal 23 Juli silam, Ariel telah bebas dari penjara. Dan terhitung sejak tanggal itu pula, detik-detik kebangkitan Peterpan, dari mati surinya yang cukup panjang itu, akan segera dihitung mundur. Peterpan, akan hidup kembali dan meramaikan industri musik nasional.

*********

Menikmati musik pop arus utama tanpa menghiraukan keberadaan Peterpan dalam memetakan pergolakan yang telah, sedang, dan akan terjadi di dalamnya adalah sebuah kesalahan yang teramat besar. Sebab, ditangan mereka lah, musik pop mainstream Indonesia pernah meletakkan kiblatnya. Terutama semenjak Sheila On 7 mulai meninggalkan ceruk yang menganga selepas era keemasan mereka. 

Okelah, awal kemunculan Peterpan mungkin tak sedahsyat Sheila On 7. Penjualan album "Taman Langit" memang tak sampai melebihi milestone yang ditoreh album self-titled milik Duta dkk yang laku sampai hitungan juta keping. Album perdana Peterpan, kala itu "cuma" laku sekitar 650 ribu-an kopi. Tapi angka segitu, toh, tentu saja sebuah salam perkenalan yang sama sekali tidak mengecewakan untuk band yang saat itu masih berstatus sebagai rookie.

Waktu berjalan, dan kian hari, Peterpan jadi tambah besar. Album sophomore, dan juga album-album mereka setelahnya, laris berjuta-juta keping. Konsernya selalu dipadati penonton. Lagu-lagu mereka sering numpang lewat di tayangan sinetron, selingan pariwara, ataupun film layar lebar. Ring back tone mereka berhasil "menganggu" dunia pertelekomunikasian karena diunduh secara berjama'ah oleh banyak pengguna telepon genggam.

Dalam kehidupan sehari-hari, Peterpan juga bersliweran. Di angkot dan juga bus, lagu mereka sering dipakai sebagai soundtrack yang mengiringi perjalanan. Di warnet, di rental PS, di toko-toko, di supermarket, di mall-mall, hingga di pasar tradisional, lagu-lagu Peterpan adalah salah satu scoring pilihan yang jamak terdengar. Pengamen pun tak mau ketinggalan dengan menjadikan lagu-lagu Peterpan sebagai ujung tombak mereka dalam mengais rezeki. Peterpan, secara harfiah, benar-benar ada dimana-mana.

Perlahan tapi pasti, Peterpan mulai menjadi benchmark bagi belantika musik Indonesia di medio 2000-an. Musiknya yang empuk, dengan lirik yang puitis lagi sastrawi khas mereka, pun jadi barometer baru ranah pop lokal pasca meredupnya band-band kawakan generasi 90-an semacam Base Jam, Stinky, Dewa dan juga Sheila On 7, yang ditelan laju arus waktu.

Setelahnya, musik pop mainstream mulai menggeliat. Peterpan seolah jadi trigger bagi band-band pop lain untuk menyempal dari dalam tanah. Skena pop arus utama mulai subur lagi. Tidak sedikit yang kualitasnya butut memang, namun kebanyakan musikalitas band-band zaman segitu masih sedikit bisa dikooptasi oleh telinga, setidaknya oleh selera saya. Dan Peterpan, suka atau tidak suka, harus diakui telah berhasil merubah warna industri musik lokal dengan musikalitas yang mereka miliki.

****

Tahun 2008, sehabis merilis album The Best, Peterpan memutuskan vakum. Dan entah kebetulan atau tidak, warna musik pop perlahan-perlahan jadi berantakan setelahnya. Setidaknya, sekali lagi, menurut selera saya.

Dimulai dari jaman musik pop melayu yang bagaikan hujan asam membikin keropos telinga dan mata lewat musik mereka yang absurd, se-absurd tampang para personilnya, industri musik nasional mulai mengalami dekadensi. Elegi patah hati, ode pengusir rindu, lagu perselingkuhan, dan nada-nada minor, seperti yang digambarkan oleh satir Cinta Melulu milik Efek Rumah Kaca, adalah makanan sehari-hari kala mendengarkan musik mainstream. Hal tersebut sejatinya tak begitu mengganggu seandainya formula-formula tadi dikulminasi menjadi sebuah lagu pop melayu yang bagus. Sayang seribu  sayang, kebanyakan band malah menghasilkan musik yang lebih cocok disetel sebagai persembahan untuk gerombolan Jabba The Hutt di planet Tattooine sana, alih-alih membikin lagu yang bagus.

Tahun berganti, dan industri musik pop nasional belakangan justru menggeser kiblatnya ke arah Korea. Infiltrasi yang dilakukan Korean wave lewat dorama-dorama dan cuplikan showcase mereka yang sering wara-wiri di siaran televisi rupa-rupanya telah berhasil mengetuk sisi feminis dari para perempuan dan juga (naudzubillah) laki-laki di kolong langit bumi pertiwi ini untuk berdandan kemayu dan terjun ke dunia musik dengan bernyanyi dan berjoged keroyokan dalam paguyuban yang mengatasnamakan boyband dan girlband. Lebih menyegarkan untuk disimak daripada band-band pop melayu memang, setidaknya untuk urusan mata, tapi untuk urusan musikalitas, tak banyak yang bisa diharapkan dari muda-mudi yang hanya bisa bersuara merdu kalau bernyanyi dengan lip-sync.

Band-band kawakan seperti Ungu, Nidji, dan Letto memang masih ada, tapi mereka nampaknya tak cukup kuat untuk mengemban tongkat estafet yang diserahkan Peterpan. Ungu mulai kembali ke musik yang mereka mainkan di awal-awal kemunculannya, yang banyak berbalut distorsi gitar. Sementara Nidji, menurut saya, semakin mengalami dekadensi kualitas karya, baik dari segi lirik maupun musikalitas. Samsons malah sudah tak jelas kemana rimbanya karena menghilang begitu saja bak koruptor yang kasusnya terungkap. Hanya Letto yang masih konsisten memainkan musik pop yang murni. Akan tetapi penggemar Letto memang teramat segmented sehingga basis massa-nya tak sebesar Peterpan.

Hal-hal tersebut kemudian membikin sebagian orang, termasuk saya, menjadi sebal dan bosan menyimak musik-musik mainstream.

*****

Kini, seiring dengan kembali bebasnya Ariel, setelah mendekam selama hampir 2 tahun di hotel prodeo akibat tersandung kasus video yang bikin kita semua jadi tahu bahwa (maaf) pantat seorang artis ternyata bisa burik juga, Peterpan kembali meramaikan skena musik pop lewat karya-karya khas mereka, dengan mengusung nama baru : Noah.

Single Separuh Aku langsung dilepas ke pasaran, dan memori-memori indah tentang masa kejayaan Peterpan pun kembali mengapung di kepala orang-orang kala menyimak lagu anyar tersebut. Kebanyakan dari mereka, termasuk saya, kemudian mulai berharap bahwa kemunculan Noah bisa mengembalikan industri musik nasional kembali ke track-nya yang sediakala. Terlebih khususnya, untuk ranah musik pop.

Mungkin agak terlalu naif kalau saya menahbiskan Ariel dkk sebagai satu-satunya juru selamat bagi permusikan nasional. Masih ada elemen-elemen lain, seperti misalnya perusahaan label, produser rekaman, media massa, hingga pemerintah selaku pembikin regulasi, yang juga harus diketuk ulang isi kepalanya untuk saling berkomitmen menyelamatkan permusikan nasional bukan hanya dari efek Melayu dan Korean wave, melainkan juga dari dekadensi kualitas karya serta pembajakan. Akan tetapi, untuk saat ini, sepertinya memang hanya Noah yang mampu diharapkan demikian. Apalagi kalau menilik momen yang mereka punya serta reaksi dari orang-orang pasca bebasnya sang frontman dari bui.

Apabila kelak album terbaru mereka, yang konon akan segera dirilis, mampu meledak dan laku berjuta-juta keping lagi, bukan tidak mungkin kalau Noah akan sekali lagi menjadi trigger yang mengubah warna industri musik pop nasional seperti yang pernah mereka lakukan dulu. Musik pop akan kembali kepada khittah-nya yang hakiki. Dan akhirnya, kita jadi tidak perlu lagi mendengarkan lirik-lirik semacam "Aku Jodi, jomblo ditinggal mati. Pokoknya buy one get one free..."  atau melihat pemuda-pemuda berjiwa anggun yang melakukan senam poco-poco di acara musik pagi.

Akan tetapi kalaupun kemudian kemunculan Noah tak mampu menenggelamkan geliat boyband dan girlband serta band-band pop melayu yang ada sekarang, berharap bahwa setidaknya mereka mampu mengirimkan air bah yang sanggup membikin kita hanyut terbawa arus dalam suasana yang tenteram lagi menyegarkan, sebagaimana yang biasa kita rasakan kala mendengarkan musik-musik mereka, sepertinya bukan suatu hal yang terlampau muluk.

Jadi, teruntuk siapapun yang merindukan saat-saat hanyut bersama lagu-lagu dari Peterpan, siapkan kapalmu dari sekarang, air bah dari Noah akan segera datang!



Adios - Gale

~tanbihat : saya bukan fans Peterpan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar