Minggu, 02 September 2012

#KamisKeBioskop : Perahu Kertas - Bagian 1


Saya bukanlah militan garis keras seorang Dee Lestari. Di antara sederetan buku-buku tulisannya yang selalu laris manis itu, saya cuma memiliki dua buah judul saja yang terselip di rak buku saya. Dan Perahu Kertas bukanlah salah satu di antaranya. Akan tetapi ketika saya mengetahui kalau Perahu Kertas akan diangkat ke layar lebar, entah kenapa saya malah lebih penasaran ingin menonton filmnya daripada membaca novelnya. Mungkin karena di antara jajaran cast-nya yang cukup mentereng itu, tersempil nama Maudy Ayunda yang selalu berhasil mempesona saya dengan dua gigi kelincinya yang menggemaskan, saban ia tersenyum lepas.

Maka ketika Kamis kemarin, tiga orang kawan mengajak saya untuk menyaksikannya di bioskop selepas pulang dari kantor, saya langsung menerima ajakan tersebut tanpa berpikir panjang. Jadilah hari itu saya menghabiskan malam Jum'at dengan menonton salah satu film drama Indonesia, yang menurut saya, paling indah dari sisi visual, paling megah dari segi tata suara, serta memorable dalam jalan cerita. Saya benar-benar menikmati berlayar bersama Perahu Kertas malam itu.

Poster film Perahu Kertas, menggemaskan dan lucu. *peluk Maudy Ayunda*
Garis Besar
"Hai Neptunus. Apa kabar wahai laut biru? Perahu kertas kali ini akan membawakan kisah perjalanan hatiku..." Monolog dari Kugy (Maudy Ayunda) tersebut, yang diiringi dengan alunan musik akustik plus sinematografi yang indah, berhasil membuka film ini dengan sangat manis. Dan hal tersebut sudah cukup untuk membikin saya jatuh hati dengan film ini, untuk kemudian duduk manis sepanjang filmnya diputar dan dengan senang hati menikmati film ini sampai habis.

Perahu Kertas, sebagaimana yang saya tangkap dari filmnya, karena saya memang tak membaca novelnya, adalah romantisme dua orang remaja, Kugy dan Keenan (Adipati Dolken), yang sedang berusaha menggapai cita-citanya masing-masing. Kugy, gadis manis berotak brilian namun memiliki kepribadian yang aneh serta imajinasi yang kelampau batas, sedari kecil bercita-cita menjadi penulis cerita dongeng bagi anak-anak. Sementara Keenan, blasteran Belanda yang dipaksa kuliah Ekonomi oleh orangtuanya, memiliki obsesi menjadi seorang pelukis. Tanpa disadari, passion berbeda yang mereka miliki masing-masing itu malah membuat mereka cocok dan begitu nyambung satu sama lain. Kugy mendapat lecutan untuk terus menulis dongeng dari lukisan Keenan, dan Keenan mendapat inspirasi untuk goresan gambar dan lukisannya dari Kugy. Perasaan di antara keduanya mulai terbangun.

Beginilah cara dua agen Neptunus saling berkomunikasi *kemudian hening*
Tapi kemudian arus waktu melaju, dan perjalanan kehidupan terpaksa membuat Kugy dan Keenan harus saling menjauh satu sama lain. Kugy berusaha keras menuntaskan studi sastranya di Bandung, sembari menyambi jadi pengajar sukarela di sebuah sekolah sosial. Sementara Keenan memilih mengasingkan diri dengan kabur ke Bali. Di sana ia memperdalam ilmu seni lukisnya bersama Pak Wayan (Tio Pakusadewo), sahabat Ibunya.

Mereka berdua terus larut dalam dunia dan kesibukannya masing-masing. Lalu ketika akhirnya mereka mulai saling mencoba melupakan satu sama lain, dengan Kugy yang mulai dekat dengan Remi (Reza Rahardian) dan Keenan yang mulai terpikat pada Luhde (Elyzia Mulachela), nasib malah mempertemukan mereka kembali, dalam suatu momen yang tak pernah mereka antisipasi sebelumnya.

Kugy > Keenan
Saat produser pertama kali merilis bahwa Maudy Ayunda akan memerankan tokoh Kugy, dan Adipati Dolken akan berakting sebagai Keenan, konon, tidak sedikit reaksi negatif yang dituai dari para penggemar novelnya. Kebanyakan dari mereka berpendapat kalau Maudy dan Adipati tak akan cukup mampu membawakan karakter Kugy-Keenan, serta membangun chemistry di antara keduanya seciamik yang digambarkan dalam versi novelnya. Tapi toh Perahu Kertas terus melaju, dengan tetap menempatkan dua orang itu, di atas kapal mereka.

Kugy dan Keenan
 Sebagai penggemar Maudy Ayunda, kesan yang saya tangkap dari aktingnya memerankan Kugy mungkin agak sedikit bias. Dari kacamata saya, Maudy cukup berhasil memerankan Kugy yang unik, periang, serta memiliki imajinasi luar biasa, terutama saat dia mulai ngoceh soal dunia dongeng dan Neptunus. Jangan lupakan juga soal pernak-pernik Kura-kura Ninja dan poster "Karma Chameleon" yang berhasil membikin Maudy tampak seperti gadis yang hidup di dunia paralel. Tak cuma itu saja, Maudy yang memang selalu bisa membikin sebuah karakter menjadi amat lovable lewat senyumnya itu, sekali lagi berhasil mengaplikasikan keahliannya itu kepada Kugy. Akting Maudy adalah salah satu energi utama yang membikin Perahu Kertas menjadi sebuah film yang sangat berwarna dan memorable. Jadi, agak aneh saja saat teman saya, yang sudah khatam membaca novelnya, mengatakan kalau Maudy gagal memerankan Kugy. Bagi saya, akting Maudy sebagai Kugy sangat acceptable.

Hal yang agak sedikit berbeda terjadi pada Adipati Dolken. Performanya sebagai Keenan benar-benar bak roller coaster. Pada suatu momen aura ke-Keenan-anya akan sangat terasa meluap-luap, terutama di awal-awal film. Tapi tak jarang juga ia terlihat gagal membangun chemistry dengan lawan mainnya di beberapa scene. Kharismanya sering timbul tenggelam. Terutama dalam scene-nya dengan Wanda (Kimberly Ryder), yang harusnya bisa dieksekusinya dengan memukau. Beruntung, Ia masih sempat menampilkan senjata andalannya dalam pengucapan dialog-dialog yang touche, seperti yang dilakukannya dalam Malaikat Tanpa Sayap, sehingga rapor aktingnya jadi tak butut-butut amat di mata saya

"Coba kamu rasain lukisan ini pelan-pelan, pasti kamu bisa nebak  " kata Keenan kepada Kugy
Alur dan hal-hal yang belum selesai
Mengadaptasi novel menjadi sebuah film umumnya sering terkendala dalam soal alur. Berbeda dengan buku yang tak membatasi jumlah maksimal halaman, film amat terbatasi dengan durasi waktu penayangan. Hal ini mau tak mau membuat sutradara dan penulis skenario harus pintar-pintar memilah-milah momen mana yang penting dan harus muncul dalam filmnya, sembari tetap menjaga benang merah dengan kisah yang tertulis di bukunya. Maka kalau tak pintar-pintar dalam menukilnya, kekecewaan dari penonton yang sudah membaca bukunya hampir pasti akan dipanen.

The Pretending Ninjas alias Geng Pura-pura Ninja
Dan Perahu Kertas, dari apa yang saya tangkap dari teman saya yang sudah membaca bukunya, juga memiliki masalah yang serupa. Padahal Dee Lestari, sang empunya buku, sudah rela terjun langsung sebagai penulis skenario demi membikin filmnya benar-benar dapat menerjemahkan imajinasi dari pembacanya secara visual. Toh, alur dalam Perahu Kertas masih dirasa terlalu cepat dan melompat-lompat bagi mereka yang sudah membaca bukunya. Beberapa momen-momen yang dirasa penting juga dihilangkan, sehingga membikin ceruk-ceruk imajinasi yang tak terjawab di kepala penonton yang sudah membaca bukunya. Mungkin memang sebaiknya film dan novel Perahu Kertas ini diapresiasi sebagai dua buah karya yang berbeda, tanpa harus saling mengkomparasi antar keduanya.

Saya sendiri tak bisa mengomentari soal alur secara komprehensif. Karena saya memang belum membaca novelnya, untuk kemudian membandingkannya dengan filmnya. Dan mungkin saja, saya harus merasa bersyukur karena hal tersebut. Untuk penonton yang belum membaca bukunya seperti saya, mungkin tak terlalu mengalami masalah dengan alur. Saya menikmati alur dalam Perahu Kertas. Dan pergantian waktu yang digambarkan dengan mosaik-mosaik  bergas oleh Hanung Bramantyo selaku sutradara, sudah cukup membikin saya mengerti bagaimana jalan cerita dari Perahu Kertas coba digambarkan. Dan karena film ini belum selesai (masih akan ada bagian yang kedua), saya akan dengan senang hati kembali menyambangi bioskop kala sekuelnya sudah mulai tayang, Oktober kelak.

Kualitas gambar dan scoring yang amazing
Hal lain yang mencuri perhatian dari Perahu Kertas adalah kualitas sinematografinya yang bagus serta pemilihan scoring-nya yang memukau. Saya memang kurang begitu paham soal teknis dan istilah-istilah perfilman, tapi Perahu Kertas adalah film yang benar-benar memanjakan indera penglihatan dan pendengaran. Setidaknya untuk ukuran film drama Indonesia.

Gambarnya jernih dan tajam
Gambarnya yang clean dan sharp, lighting yang prima, dan ditambah dengan pemilihan set-set yang sebenarnya klise tapi entah kenapa terasa indah dan pas, membuat Perahu Kertas jadi nikmat untuk dilihat. Beberapa efek lensflare dan bocea ala-ala toycam dan instagram yang diselipkan dalam beberapa adegan juga memukau sekaligus menggenapi romantisme yang coba dibangun dari jalan ceritanya.

Sementara untuk urusan soundtrack dan scoring, Perahu Kertas benar-benar mengoptimalkan kinerja departemen musikal mereka dengan menyuguhkan scoring yang indah dan selaras dengan jalan cerita. Petikan gitar akustik mengalun saat suasana sedang romantis, string section yang megah saat konflik sedang terjadi, ataupun denting piano yang menemani di scene-scene sedih, mungkin bukan sesuatu yang istimewa. Tetapi untuk ukuran film Indonesia, yang biasanya cuma mencomot lagu-lagu sebagai scoring ala kadarnya, apa yang dilakukan Perahu Kertas membuatnya terasa istimewa.

Lagu-lagu yang mengisi soundtrack-nya bagus, sesuai dengan jalan cerita, serta porsinya tak terlalu berlebihan sebagai salah satu elemen pendukung dari sebuah film. Perahu Kertas adalah salah satu film yang mampu membuat saya mengubek-ubek pelbagai situs sharing file di dunia maya demi mengunduh lagu-lagu soundtrack-nya sepulangnya dari bioskop. Dan soal kenapa saya adalah seorang cheap bastard yang memilih untuk mengunduh lagu-lagu secara ilegal di situs-situs sharing file sepertinya tidak perlu dibahas lebih lanjut di sini.

Kesimpulan
Perahu Kertas benar-benar sebuah film yang cukup menghibur serta optimal dari segi produksinya. Untuk sebuah film yang mengadaptasi kisah novel, Perahu Kertas mungkin masih menyisakan sedikit kekecewaan bagi mereka yang sudah menamatkan novelnya. Akan tetapi karena menyenangkan semua orang adalah sesuatu yang mustahil, Perahu Kertas memilih tetap melaju dengan caranya sendiri untuk mencoba menyenangkan penontonnya. Dan saya adalah salah satu penontonnya yang benar-benar terhibur.

Hai Neptunus, perahu kertas ini aku layarkan ke tempatmu, ke laut biru.
Mungkin saja karena saya belum pernah membaca novelnya. Atau mungkin juga tidak. Sebab kenyataannya, Perahu Kertas memang sebuah film yang bagus dan layak untuk disaksikan. Saya memberinya nilai 8 dari skala 10. Masuk dalam kategori outstanding movie yang menarik untuk disimak. Mungkin seharusnya hanya saya beri nilai 7,5 saja, tapi berhubung ada Maudy Ayunda di dalamnya, dan lagipula soundtrack-nya bagus, dan juga sinematografiya memukau, saya dengan senang hati menambahkan 0,5 dari nilai overall-nya.

Maka sebagaimana Kugy berujar dalam epilog-nya, bahwa kisah Perahu Kertas belum berakhir dan masih akan berlanjut mengarungi samudera dengan membawa kisah perjalanan hatinya, review ini juga masih akan berlanjut kelak sepulang saya menonton bagian kedua dari film ini. Dan sampai saat itu tiba, kita biarkan laju Perahu Kertas terhenti di sini, untuk sementara saja.


Adios - Gale

~gambar diambil dari :  http://www.facebook.com/pages/Perahu-Kertas/262497090225

4 komentar:

  1. endingnya part 1sampe bagian mana? Keenan masih stuck di Bali? gw abu2 sih, gr2 bcanya nyicil2

    BalasHapus
  2. *spoiler alert* sampe nikahannya noni-eko *spoiler alert*

    tapi kalo di bukunya, katanya, noni-eko cuma tunangan....

    BalasHapus
  3. atas gw udah ga teenage lagi sih ya, jadinya ga cocok nonton film2 beginian. kalo ogut mah, masih pantes

    BalasHapus