Sabtu, 10 November 2012

Terpelajar Sejak Dalam Pikiran


Pramoedya Ananta Toer, maestro sastra Indonesia, pernah menyerukan dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia, bahwa manusia yang terpelajar sudah selayaknya berlaku adil sejak dalam pikiran dan  perbuatan, kepada siapapun tanpa terkecuali. Mengikuti perbuatan umum yang sudah lama salah kaprah, ataupun menjustifikasi manusia lain secara bias berdasarkan faktor-faktor yang tak materiil dengan pokok permasalahan, adalah perbuatan yang tak mencerminkan hal tersebut. Sebab yang baik harus tetap dinilai baik, dan yang salah harus tetap dikatakan salah.

Tapi pada kenyataannya tidak demikian. Tapi kenyataannya kebanyakan manusia memang suka begitu, tak peduli dia terpelajar atau tidak. Ambil contoh saja bagaimana PSSI menyikapi kasus penganiayaan yang menjerat salah satu punggawa timnas, Diego Michiels. Sesaat setelah jongeren yang dinaturalisasi dari Belanda untuk membela tim nasional itu dinyatakan sebagai tersangka, PSSI malah membikin langkah komedi dengan cuma memberikan denda sebesar Rp 500.000,00 tanpa hukuman skorsing apapun kepadanya. Entah atas tendensi apa PSSI melakukan hal tersebut, tapi yang jelas, sanksi yang diberikan kepada Diego itu jelas tidak mencermikan perilaku adil sejak dalam pikiran seperti yang dimaksud Pram.

Sebagai perbandingan saja, Titus Bonai, yang beberapa waktu lalu juga berlaku indisipliner, langsung dikenai sanksi berupa pencoretan dari timnas tanpa ba-bi-bu. Padahal, kalau ditilik dari segi etika dan moral, pelanggaran yang dilakukan Tibo tak seberat Diego yang kabur dari larangan jam malam cuma untuk dugem dan beradu jotos dengan sesama pengunjung klub malam. 

Dilihat dari sudut manapun, dengan alasan apa pun, apa yang dilakukan Diego adalah perbuatan yang sama sekali tak ada bagus-bagusnya buat timnas. Apalagi dengan suasana timnas yang sedang tak kondusif dengan segala macam silang sengkarut yang menderanya. Apa yang dilakukan Diego hanya semakin memperkeruh keadaan timnas yang sudah tak keruan dan semakin menipiskan simpati dari masyarakat untuk timnas. Sudah sewajarnya kalau Diego kemudian diberikan hukuman yang setimpal, dengan dicoret dari timnas, misalnya.

Mungkin PSSI khawatir apabila Diego dicoret dari skuad, keharmonisan tim yang sudah mulai terjalin akan terganggu, padahal hanya dalam dua minggu lagi Piala AFF akan bergulir. Kalau memang demikian alasannya, PSSI tampaknya tak sadar kalau mereka sedang menanam bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Membiarkan Diego tetap berkeliaran dalam pemusatan latihan timnas, sama saja dengan mendoktrin pemain-pemain lain bahwa melanggar larangan keluar malam adalah hal yang sepele. Sebab kalaupun ketahuan, dendanya tak sampai jutaan, tak terlalu besar lah buat ukuran pemain kelas timnas.

Bisa jadi PSSI beralibi dengan keterbatasan pemain berkualitas yang bisa dipanggil untuk memperkuat timnas akibat adanya dualisme kompetisi. Dengan dicoretnya Diego, PSSI mungkin khawatir kalau kekuatan timnas akan jadi timpang dan kurang taji. Seharusnya PSSI ingat, kalau timnas adalah lebih besar ketimbang seorang individu. Mencoret satu pemain indisipliner dan mempertahankan pemain lain ,yang walaupun berkualitas semenjana namun mau berkomitmen penuh untuk  tim, jauh lebih baik ketimbang memiliki sepuluh pemain berkualitas top di dalam tim namun suka berbuat onar dan melanggar peraturan.

Tak perlu jauh-jauh mencari contoh ke timnas mancanegara yang tak pandang bulu dalam memberi sanksi terhadap pemainnya yang gemar melanggar peraturan, dari kancah sepakbola lokal pun kita punya kiblat untuk dijadikan contoh. Ivan Kolev misalnya, pernah menepikan Zaenal Arif menjelang partai hidup mati timnas di penyisihan grup Piala Asia tahun 2007 melawan Korea Selatan karena Arif kedapatan kabur melanggar larangan jam malam, untuk menemui keluarganya. Tahun 2004 Kolev juga pernah mencoret Isnan Ali, Kurniawan dan Mukti Ali Raja, melulu karena alasan indisipliner.

Yang paling fenomenal tentu saja adalah Anatoli Polosin yang dengan tangan dingin memarkir pemain-pemain bintang timnas seperti Ricky Yakobi, Fachry Husaini dan Ansyari Lubis akibat ulah indisiplinernya menjelang SEA GAMES tahun 1991. Hasilnya luar biasa, timnas yang berbekal punggawa-punggawa muda justru tampil trengginas dan keluar sebagai juara. Jadi, saya pikir, tidak ada alasan lain bagi PSSI untuk tidak mencoret Diego, yang kini tengah terancam hukuman bui selama lima tahun, dari skuad timnas yang tengah menjalani pemusatan latihan. 

Siapa tahu dengan keluarnya Diego, pemain-pemain lain yang merupakan deputi dari Diego di posisi bek kiri, bisa menunjukkan sinarnya yang selama ini tersembunyi oleh bayang-bayang Diego. Kita pun jadi punya alternatif baru untuk posisi bek kiri. Ya, siapa tahu.

Jadi, dengan segala hal yang saya tulis diatas, jikalau pada akhirnya hingga Piala AFF bergulir pada 24 November mendatang, kita masih bisa menjumpai nama Diego Michiels dalam daftar 23 pemain yang dibawa coach Nil Maizar untuk mengarungi perjuangan merebut piala AFF di Malaysia sana, bolehkah kalau kita menyebut pengurus-pengurus PSSI yang terhormat itu sebagai sosok yang tak terpelajar? Barangkali iya, barangkali memang begitu.



Adios - Gale

2 komentar:

  1. yup, gw rasa juga kabur buat ajojing lebih parah ketimbang kabur karena alasan keluarga. dan dendanya tanpa hukuman lainnya itu -_-

    BalasHapus
  2. yoih, kabar terakhir katanya polri gamau kasih ijin penangguhan penahanan. Polri yang konon korup itu ternyata lebih terpelajar daripada PSSI

    BalasHapus