Minggu, 04 November 2012

Teman Tapi Gooner


Bubar menyaksikan pertandingan Manchester United melawan Arsenal semalam membikin saya jadi teringat dengan seorang teman. Seorang teman yang boleh jadi adalah satu-satunya gooner sejati yang pernah saya kenal sepanjang hidup saya. Teman saya itu bernama Taufik. Taufik Dian Syafi'ie lengkapnya.

Bukan asal tuduh kalau saya menyebut Taufik sebagai seorang gooner sejati. Okelah saya mungkin tidak tahu sejak kapan dia mulai benar-benar menggandrungi tim asal London Utara tersebut, tapi sejak pertemuan pertama saya dengannya, dia memang sudah jadi gooner. Taufik punya pernak-pernik bertemakan Arsenal dalam segala hal. Dari mulai topi untuk dipakai di ujung rambut, jersey berukirkan meriam di dada kiri, ransel berukuran sedang dengan aksara bertuliskan Arsenal di panel depannya, sampai dengan miniatur logo Arsenal dalam benuk gantungan kunci dan stiker. 

Belum lagi jika menghitung poster pemain-pemain Arsenal yang menempeli dinding-dinding kamarnya. Dari mulai bintang jadul macam Tony Adams, sampai dengan yang termutakhir macam Thomas Vermaelen dan Mikel Arteta, semua ada di kamarnya. Untuk semakin meng-kaffah-kan identitas ke-gooner-annya, username akun facebooknya pun diembel-embelinya dengan middle-name "gooner".

Belum cukup? oke, kita semua tahu seorang gooner punya empat rukun iman yang harus diamalkan kalau mau dibaptis sebagai gooner sejati. Me-rasul-kan Dennis Bergkamp, mengagungkan Thierry Henry, selalu mempercayai Arsene Wenger dalam segala hal meski dia kadang-kadang suka bohong juga, serta memprioritaskan permainan cantik ala The Arsenal Way jauh diatas kepentingan merebut trofi, adalah empat filosofi wajib seorang gooner. Dan Taufik, seperti kebanyakan gooner-gooner lain yang sering berbaik hati memberi les bahasa Inggris gratis di linimasa twitter saban Arsenal main, sudah mengamalkan keempat-empatnya. Maka, sudah sepatutnya kalau dia saya anggap sebagai seorang gooner sejati, seorang gooner sejak dalam pikiran.

 ***

Saya bertemu Taufik untuk kali pertama pada saat masa ospek SMP, kebetulan kami sekelas waktu itu. Kian hari, pertemanan saya dengannya kian mengental. Hal ini juga turut dibantu dengan kesukaan kami mengikuti perkembangan liga-liga sepakbola di dunia, terutama Liga Inggris. Walaupun, untuk urusan tim yang didukung, kami berdua harus berseberangan kubu. Saya suka Manchester United, dia seorang gooner. Saya suka David Beckham dan Cristiano Ronaldo, dia suka Thierry Henry dan Cesc Fabregas. Saya sering merayakan gelar juara di akhir musim, dia lebih sering manyun melihat Arsenal yang tak kunjung juara sejak tahun 2005.

Memasuki SMA, saya masih ditakdirkan seatap dengan Taufik. Kami berdua sama-sama diterima di salah satu SMA negeri terbaik di daerah kami, Wonogiri. Dalam tiga tahun di SMA, Taufik masih tetap jadi teman yang menyenangkan dan juga masih seorang gooner. Kami sempat kembali sekelas ketika duduk di kelas 2 SMA. Di masa itu, Taufik adalah seteru abadi saya dalam bermain game Pro Evolution Soccer (PES). Saban pulang sekolah, kami sering mampir di rental PS dekat rumah untuk mengadu jago bermain sepakbola virtual.

Hampir mirip dengan persaingan dalam mendukung klub jagoan di Liga Inggris, persaingan saya dengan Taufik dalam dunia PES juga mengusung pertaruhan harga diri. Kalah bermain PES dalam selisih gol yang lumayan telak akan sama memalukannya seperti kala menyaksikan Manchester United remuk 4-0 di tangan Arsenal dalam laga Piala Carling tahun 2001.  Bedanya, dalam rivalitas di dunia PES ini, Taufik masih kerap bisa berbangga diri karena sering mengungguli saya lewat gol-golnya. Lumayan lah buat pelampiasan kekecewaannya dengan Arsenal di dunia nyata.

Beginilah ekspresi Gooner kalau timnya dihajar 8-2
Lulus SMA, saya harus pindah ke Jakarta, sedangkan Taufik meneruskan kuliahnya di Solo. Waktu saya hendak berangkat ke Jakarta, Taufik adalah salah satu teman yang ikut mengantar kepergian saya ke terminal. Dia juga memberi saya kenang-kenangan berupa pajangan dinding. "Ojo lali karo aku yo le, nek wis sukses." katanya waktu itu. Saya mengangguk sambil tersenyum kemudian naik ke atas bus.

Sejak saat itu pertemanan saya dengan Taufik jadi sedikit mengendur. Sesekali kami memang masih sering bercakap melalui akun facebook ataupun sekedar melempar banter lewat kiriman pesan singkat. Seperti yang saya lakukan saat Manchester United menggulung Arsenal dengan skor 8-2 tahun lalu. Saya mengiriminya sebuah banter singkat yang lalu hanya dibalasnya dengan sebiji emoticon senyuman saja. Saya yakin, waktu itu, Taufik pasti sudah tak punya alibi apa-apa lagi untuk membalas banter saya. Hahaha.

Pertandingan semalam, yang (lagi-lagi) berakhir dengan kemenangan Manchester United, mau tak mau membuat saya ingat lagi dengan Taufik. Terakhir kali saya bertemu dengannya adalah setahun silam (sekitar bulan Juni kalau tidak salah), ketika dia mengunjungi kos-kosan saya dalam rangka lawatannya ke Jakarta mengurus tetek bengek menjelang kepindahannya ke Jakarta untuk bekerja. Dia tidak berubah, masih tetap teman yang baik, dan tentu saja tetap seorang gooner seperti yang saya kenal dulu.

Sekarang Taufik juga sudah pindah dan menetap di Jakarta. Sudah hampir setahun malah. Dia sekarang bekerja di sebuah rumah sakit di wilayah Koja, Jakarta Utara sana. Kalau mengingat hal itu saya jadi merasa sedikit berdosa, karena belum juga menyempatkan diri untuk main-main ke kosannya. Padahal, sudah hampir setahun dia berada di Jakarta. Bukan karena sombong atau tak mau tentu saja, tapi lebih kepada hal-hal yang sifatnya teknis yang membuat saya tak kunjung mengunjungi Taufik.

Ah, mudah-mudahan Taufik tidak lantas marah dan menganggap saya sombong karena tak juga mengunjunginya meski sudah hampir setahun dia berada di Jakarta. Dan saya juga percaya, dia bukan orang yang seperti itu. Sebab pertemanan kan, sesuatu yang everlasting, sesuatu yang panjang umur meski kadang mengalami pasang surut dalam perjalanannnya. Saya yakin, sebagai seorang gooner, Taufik juga memegang teguh prinsip bahwa form is temporary, but friend is permanent. Bukan begitu, kawan?



Adios - Gale

Tidak ada komentar:

Posting Komentar