Minggu, 02 Desember 2012

Sebuah Akhir, Yang (Sebenarnya) Kita Sudah Tahu Akan Seperti Apa


Salah satu hal paling menyebalkan saat menonton sebuah pertandingan sepakbola adalah ketika tim jagoan anda sedang ketinggalan, butuh gol, tapi pemain lawan malah mengulur-ulur waktu dengan cara yang paling klasik: pura-pura kesakitan saban terjadi kontak fisik dengan lawannya. Kalau ada hal yang lebih menyebalkan dari itu, tentu saja adalah jika tim yang anda dukung kemudian kalah dan tersingkir dari sebuah kompetisi. 

Well, kemarin malam kita mendapatkan keduanya.

Timnas Indonesia, yang sejatinya cuma butuh hasil seri untuk lolos dari fase grup Piala AFF, akhirnya memenuhi takdirnya sebagai non-unggulan dengan mengepak koper lebih cepat setelah dikalahkan Malaysia 2-0. Dua gol yang dibikin Azimuddin Mohd Akil dan Mahalli Jazuli gagal dibalas oleh Indonesia sampai wasit meniupkan peluit panjang. Sebuah hasil yang membuat Indonesia harus puas duduk di posisi ketiga grup B dibawah Malaysia dan Singapura, yang disaat bersamaan berhasil mencukur Laos 4-2. Sebuah hasil yang membuat timnas harus puas menapaktilasi pencapaian di tahun 2007, yang juga cuma nyaris lolos dari fase grup.

Berulang kali kegagalan dan segala momen yang serba nyaris —nyaris juara, nyaris mengalahkan tim besar, nyaris lolos dari fase grup, dan juga nyaris-nyaris lainnya— tiap menyaksikan timnas bertanding membuat kita merasa seperti dikutuk oleh Tuhan karena tak kunjung bisa melihat timnas meraih prestasi. Saya lalu ingat pernah membaca tulisan dari mas @zenrs yang menyebutkan kalau nasib kita tak ubahnya Sisifus dalam mitologi Yunani.

Dalam kisahnya, Sisifus diriwayatkan sebagai manusia yang dikutuk oleh Zeus akibat ulah kurang ajarnya menyekap Thanatos, Dewa Kematian, yang menyebabkan manusia di muka bumi tidak bisa mati, serta melarikan diri dari masa hukumannya di penjara Tartarus setelah mengakali Hades dan Persephone dengan muslihat untuk kembali ke dunia manusia. Zeus yang sangat marah kepadanya kemudian mengutuknya dengan membuat Sisifus "sibuk" mendorong batu besar dari kaki hingga ke puncak Gunung Olympus. Ketika batu yang didorong Sisifus hampir sampai ke puncak, batu itu dijatuhkan lagi ke bawah, dan Sisifus harus mengulang lagi mendorong batu tersebut dari bawah. Dan ketika batu itu hendak sampai di puncak lagi, batu itu dijatuhkan lagi. Begitu seterusnya, selama-lamanya.

Timnas pun demikian. Kita punya siklus yang sangat mirip dengan kutukan Sisifus. Mulanya tak begitu yakin bisa sampai di puncak, kemudian optimisme muncul sedikit, dan seiring berjalannya perjalanan "mendorong batu", optimisme makin naik. Puja-puji mulai mengalir, berita tentang timnas merebak di mana-mana, pemain timnas mendadak jadi selebriti dan bintang iklan sosis siap makan, terus begitu, dan ketika hampir tiba di puncak kita jatuh lagi menggelinding ke bawah dengan keadaan babak belur, lalu dihujat ramai-ramai karena dianggap tak becus bermain bola. Terus begitu, entah sampai kapan.

Lihatlah bagaimana sepak terjang timnas di Piala AFF tahun ini. Diawali dengan macam-macam kisruh dualisme dan tarik menarik kekuasaan antara KPSI dengan PSSI, kemudian berlanjut dengan tak diperbolehkannya pemain-pemain yang merumput di ISL untuk memperkuat timnas oleh klubnya, ditambah dengan kasus Diego Michiels jelang bergulirnya Piala AFF, Indonesia memulai perjuangannya menggelindingkan batu ke Gunung Olympus dengan persiapan minimalis plus kekuatan yang boleh dibilang ala kadarnya. Wajar, jika kemudian pesimisme yang mengepul terasa lebih hebat daripada biasanya.

Partai perdana menghadapi Laos seolah jadi pembenaran kalau kita memang tak akan jadi apa-apa di turnamen dua tahunan kali ini. Laos yang secara historis hampir selalu kita gunduli dengan skor besar, berhasil memaksakan skor imbang 2-2. Kalaupun ada sedikit asa dari pertandingan tersebut, itu adalah mental pantang menyerah dari para pemain yang tetap ngotot bermain mencari gol meski sempat dua kali tertinggal oleh gol-gol Laos.

Pertandingan berikutnya menghadapi Singapura, awan pesimisme masih berhamburan. Singapura di pertandingan sebelumnya berhasil menggasak tuan rumah Malaysia, yang juga berstatus sebagai juara incumbent, dengan skor besar 3-0. Di sisi lain, kita cuma bisa imbang dengan Laos. Semua pun akhirnya mafhum kalau kita tak jadi favorit, bahkan diprediksi bakal kalah dengan skor besar.

Tapi yang terjadi di lapangan kemudian adalah antitesis. Timnas bermain sangat rapih dan disiplin. Lapangan tengah menguasai bola dengan baik, plus menjalankan tugasnya sebagai tembok pelapis pertahanan. Taufiq dan Vendry Mofu yang dipasang sebagai double pivot, plus Irfan Bachdim yang kerap trackback ke daerah pertahanan, jadi kunci Indonesia dalam menahan gempuran Singapura malam itu. Sampai dengan turun minum, gawang timnas masih belum kebobolan. Asa kembali muncul. Satu poin sepertinya tak akan lari kemana-mana jika timnas terus bermain seperti itu di babak kedua.

Saat Irwan Shah mendapat kartu kuning kedua di menit 66', kita semua tahu ada keyakinan yang mulai muncul kalau-kalau Indonesia bisa mencuri satu gol untuk kemudian mengamankan raihan 3 poin. Dan Tuhan, yang malam itu sedang memiliki selera humor yang bagus, mengabulkannya. Set piece Andik Vermansyah, yang kita tak tahu dimaksudkan untuk mengirim umpan lambung atau melakukan tembakan parabola jarak jauh, melesak masuk ke sudut gawang Singapura. Gol, dan skor 1-0 itu tetap bertahan sampai akhir pertandingan.

Indonesia berhasil mencabut rekor tak pernah menang dari Singapura dalam tujuh pertandingan terakhir (enam kalah, sekali imbang) dengan skuat yang justru ala kadarnya. Kontan, harapan mulai membumbung. Andik dkk mulai ramai masuk pemberitaan media. Infotainment yang mungkin sudah bosan memberitakan kehidupan Nassar-Muzdalifah, kembali ikut-ikutan memberi lampu sorot terhadap kinerja timnas. Dan meski kini belum ada lagi iklan sosis siap makan yang memajang pemain-pemain timnas sebagai model iklannya, kita tahu optimisme mulai mengepul di dada masyarakat. Target lolos dari fase grup tinggal beberapa jengkal di depan mata setelah Indonesia hanya membutuhkan hasil imbang kala bersua tuan rumah Malaysia untuk melaju ke babak selanjutnya. Kalau rekor tak pernah menang dari Singapura saja bisa kita putus, siapa yang tak tergoda untuk berharap kalau timnas setidaknya mampu menahan imbang Malaysia?

Orang bilang harapan adalah akar dari segala kekecewaan, dan kita sadar betul akan hal itu. Akan tetapi, toh kita selalu kembali tergoda untuk berharap yang muluk-muluk ketika menyangkut prestasi timnas, meskipun kita juga sudah tahu ada kemungkinan yang teramat besar untuk kembali dikecewakan. Dan benar saja, tadi malam, kita sekali lagi dikecewakan oleh timnas. Timnas lagi-lagi menjatuhkan batu harapan yang sudah didorong dengan susah payah, bahkan kali ini sebelum mencapai setengah perjalanannya ke puncak.

Skenario kembali terulang. Skenario yang terus terjadi selama 22 tahun lamanya. Skenario yang sebenarnya kita sudah tahu akan berakhir seperti apa. Sebab, dengan persiapan yang optimal dan turun dengan talenta-talenta terbaik negeri ini saja, selama ini kita tak juga bisa meraih prestasi, apalagi dengan tahun ini yang dipenuhi konflik perselisihan kekuasaan antara PSSI dan KPSI, plus cuma bermodal persiapan ala kadarnya dan keterbatasan talenta pemain yang bisa dipanggil. Kita semua sebenarnya sudah tahu, cepat atau lambat, pada akhirnya kegagalan Indonesia di Piala AFF tahun ini memang bakal kejadian.

Pada akhirnya, kita kembali cuma bisa mengutuki nasib dan juga orang-orang yang berada dibalik kepengurusan PSSI (dan juga KPSI) akibat tingkah polah mereka yang tak kunjung becus mengurus sepakbola dalam negeri. Kita juga, lagi-lagi, cuma bisa membayangkan saat dimana timnas mampu bergelimang prestasi dan saat dimana kita akhirnya lepas dari kutukan Sisifus yang sudah berjalan 22 tahun lamanya.

Kini, sembari menunggu saat itu terjadi, dimana menonton timnas bertanding dan berharap mereka meraih kemenangan bukan lagi sekedar sado-masokisme, mari persiapkan tangan dan kaki kita untuk sekali lagi menjalani rutinitas Sisifus-esque dengan mencoba kembali mendorong batu besar yang berat ini. Tapi kali ini bukan untuk langsung digelindingkan ke puncak Gunung Olympus, melainkan digelindingkan lebih dahulu ke kantor para pengurus PSSI dan KPSI. Supaya mereka-mereka yang rakus akan kekuasaan itu remuk tergilas batu besar. Supaya tidak ada lagi kepengurusan asal-asalan dan penuh intrik di sepakbola kita. Supaya sepakbola Indonesia bisa memulai awal langkah pembaharuan menuju yang ke arah yang lebih baik.

Bung, ayo Bung!


Adios - Gale
~gambar diambil dari : detikcom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar