Kamis, 13 Oktober 2011

Jogja Trip, Day 1: Naik Kereta Api Tak Bolehlah Naik Dengan Percuma

Pagi hari, tanggal di henfon saya menunjukkan almanak pada 23 September 2011, sementara jam sedang berada pada posisi 06.28 am. Saya terbangun dengan kepala berat, tubuh saya tidak terbungkus sehelai benang pun, sprei biru dan guling kesayangan saya sudah berserakan di bawah kasur, botol-botol kosong bir bintang serta beberapa lembar uang ratusan ribu tergeletak di atas meja. Saya tak ingat apapun yang sudah terjadi semalam... *kemudian hening* ... Tunggu sebentar, kayaknya ceritanya ketuker sama prolog American Pie edisi ke-85 (¬_¬").

Keadaan sebenarnya nggak sekeren itu. Adalah saya yang terbangun kaget dikarenakan suara alarm punyanya Roni yang bikin kuping sembelit di pagi hari. Ajaibnya, Roni sama sekali nggak terusik dari tidurnya, dia malah tidur pulas kayak bayi di iklan pampers gagal tayang. Sementara itu Suhe, yang tidur sebelahnya juga nggak nunjukin tanda-tanda kesadaran sama sekali. Kemungkinan besar dia lagi mimpi naik bajaj rombeng yang super berisik, jadinya suara alarm tadi nggak kedengeran. Ah sudahlah, saya kemudian jalan ke ruang TV, sembari mengumpulkan nyawa saya yang masih belum genap betul. Di sana ada Reza, yang entah kapan datengnya ke kos saya, lagi asik memadu kasih melalui telepon genggamnya sambil guling-guling di depan TV.... Malas, begitu gambaran keadaan kosan saya pagi itu. Saya lalu beranjak ke kamar mandi untuk menunaikan tugas mulia bernama mandi pagi dan sikat gigi.

Hari ini kami akan berangkat ke Jogja, dengan membawa misi untuk bersenang-senang dan bersenang-senang ƪ(˘(••)˘)ʃ. Menurut strategi awal, kita mengagendakan untuk berangkat ke Stasiun Kota pada pukul 08.00 WIB menggunakan formasi 1-1-2-9, dengan rincian:
1 - Agus, berangkat langsung ke Jogja secara terpisah, mau naik Bus saja katanya.
1 - Bayu, berangkat langsung ke stasiun kota dari rumahnya yang di Cilandak.
2 - Anggi dan Bangkit, berangkat langsung ke stasiun kota, karena ada beberapa hal yang mau diurus dahulu. Kita janjian supaya ketemu di sana.
9 - Saya, David, Aby, Dicky, Suhe, Usman, Rahmat, Reza, dan Roni berangkat berjama'ah... oooww... jama'ah, Alhamdu??(..lillah) dari kosan saya.
Oleh sebab jaraknya yang relatif jauh serta macet yang tiada terperi, lain itu juga mewaspadai faktor ngaret dan terlambat, daripada telat dan ketinggalan kereta, kita putusin mendingan dateng kepagian di stasiun Kota.

Saya sudah selesai mandi ketika tak lama sesudahnya, sekitar pukul 7 lewat, Usman datang dengan Ranselnya yang segede gaban, entah apa saja isinya (>_<"). Kalo dibandingin dengan yang lain, barang bawaan Usman adalah yang paling heboh. Karena yang lain rata-rata cuma bawa Pakaian ganti beberapa biji dan peralatan mandi. Usman malah bawa barang-barang seolah-olah kita mau naik ke Gunung Semeru, lalu mampir ke Tengger dan Bromo.

Tidak lama setelah Usman datang, Roni baru selesai mandi dan ternyata dia belum packing!! Bahkan dia masih menyempatkan diri untuk setrika baju di sela-sela ke-hectic-an pagi itu. Sungguh.... *speechless*

Berturut-turut selanjutnya David, Dicky, serta Aby sampai di kosan saya, lengkap dengan tas masing-masing di punggung mereka. Tinggal Rahmat yang belum datang, sms darinya kemudian mengabarkan kalau dia akan sedikit terlambat. Bangkit juga mengirim pesan singkat kepada henfon saya. Sms dari Bangkit yang masuk ke inbox saya, memberitahu kalau dia akan berangkat bareng Anggi, dan menyuruh kami menunggu di Stasiun Kota saja.

Okelah kalau begitu, lalu Rahmat datang dengan tas Iron-Man di punggungnya, maka lengkaplah sudah skuad boyband berkedok preman ini untuk berangkat ke Jogjakarta. Kalau sebelumnya pada rencana awal kita diagendakan berangkat pada pukul 08.00 WIB, tapi praktek yang terjadi sesungguhnya adalah sekitar pukul sembilan, kami baru bergerak dari kosan saya. Beginilah wajah-wajah ceria kami pagi itu:
Rombongan haji ONH plus-plus, semoga menjadi haji yang... mabuk!
Super Junior edisi ketabrak becak.
Dari ki-ka: Rahmat, Roni, Suhe, Usman, Aby, Reza, David, Dicky.

Baru jalan berapa ratus meter dari kos-kosan, Usman mendadak kebelet buang hajat (¬_¬"). Langsung saja dia memisahkan diri dari rombongan, kemudian nyari kos-kosan temannya yang terdekat buat melaksanakan "misi suci" dari alam itu.

Rombongan melanjutkan perjalanan dengan menyempatkan singgah di Indomar*t dan tukang bubur ayam gerbang PJMI. Meskipun namanya bubur ayam, bubur ini tidak dibuat dari ayam, tapi dari beras yang berasal dari padi. Sedangkan ayamnya cuma ditaburin di atasnya, beberapa suwir saja. Cara membuatnya mudah, pertama-tama beras direbus selama 1 jam, lalu siapkan bahan-bahan pendukung.... eh maaf jadi kebablasan bikin resep bubur. (´▽`)/ Abaikan!!

Setelah sesi makan pagi yang menggemaskan, barulah kita resmi bertolak dari wilayah Jurangmangu/Bintaro sekitar pukul setengah sepuluh (kalau nggak salah inget, maklum udah lulus kuliah sih *nggak ada hubungannya*). Terlihat sekali fleksibilitas kita dalam menyikapi waktu, hehehe (´▽`) - c<ˇ εˇ). Terpujilah wahai angkot dan metromini yang masih mau ditumpangi oleh kita sampai ke Blok-M meskipun akhirnya kita harus bayar ongkos sebesar dua ribu rupiah per orangnya. Butuh sekitar 1 jam untuk menjangkau Blok-M meskipun jalanan nggak begitu macet hari itu.
Berasa naik Jaguar...

Pusing mikirin negara...

Dari Blok-M, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang Bus Tranjakarta. Shelter Blok-M pagi (atau siang) itu cukup ramai, antrian manusia sudah cukup panjang mengular menanti bus yang akan mengangkutnya ke shelter tujuan. Sebagai warga negara yang (kadang-kadang) baik, kita pun ikut antri dengan tertib dan tidak ricuh. Setelah datang bus yang akan membawa kami ke shelter Stasiun Kota, masuklah saya ke dalam bus dan langsung menghempaskan badan ke haribaan kursi yang lowong. Jujur, kondisi bus transjakarta yang sekarang cukup memprihatinkan (eaa, mbeye... :D), sudah tidak senyaman yang dulu lah. Body luarnya misalnya, sudah tak semulus pipi Pevita Pearce lagi. Banyak cat mengelotok dan dempul penyok dimana-mana. Keadaan di dalam juga begitu, lantai-lantai bus sudah banyak yang koyak, AC-nya juga sudah tidak sedingin ketika pertama kali saya naik dulu. Suara mbak-mbak yang keluarnya dari speaker yang kerap bersenandung "... Check your belongings, and step carefully" pun sudah jarang dihirup oleh telinga saya. Sangat disayangkan karena Transjakarta seharusnya jadi transportasi jalur darat Jakarta yang menawarkan convenience, tapi pemeliharaannya asal-asalan begitu.

Thus, 60-an menit terlewati ketika akhirnya sampai juga pada Stasiun Kota dengan langsung disambut panas matahari bagian utara Jakarta yang terasa menganiaya sekujur tubuh. Jam pada stasiun menengadah pada posisi 11.28 WIB, yang artinya masih ada sekitar 30 menit lagi sebelum kereta yang tiketnya kami beli akan berangkat. Oh iya, ingatlah kami kemudian kalo Anggi sama Bangkit harus ditemukan dahulu keberadaannya sebelum kereta berangkat. Kontak dilakukan, dan akhirnya Anggi-Bangkit ditemukan keberadaannya dengan utuh tanpa harus bersusah-susah menggunakan TOA information center, melainkan cukup dengan ditelpon saja. Sambil menunggu kereta, kita akhirnya kongkow-kongkow ganteng di stasiun...
Koran yang nggak laku, ya dibaca sendiri aja :D
Mirip pemeran catatan si boy ya??...
Siap berangkat menuju Hogwarts, lewat peron 9-3/4 yang tersohor itu...

"...Para penumpang yang terhormat, kereta api ekonomi gaya baru malam selatan jurusan Surabaya akan segera memasuki area stasiun melalui jalur 8...." itu bunyi pengeras suara di stasiun yang memberitahukan kedatangan kereta yang akan saya tumpangi.

"Ayo pada siap-siap aja deh ke jalur 8" itu instruksi dari siapa ya, lupa saya.

Langsung saja kita berduyun-duyun ke jalur 8 menunggu kereta masuk. Kereta masuk nggak lama setelahnya, sudah itu kita masuk ke gerbong yang sesuai sama tiket yang dibeli. Anggi dan Bangkit lalu memisahkan diri dari rombongan. Mereka dapat tiket yang untuk gerbong 5, sedangkan saya dan teman-teman yang lainnya di gerbong 4. Maka duduklah kita sesuai nomor tiket yang sudah dibeli. Betapa kagetnya kita ternyata posisi duduk yang tadinya direncanakan berhadap-hadapan 5 vs 5, justru malah saling punggung-punggungan (-___-'). Untung saja pasangan suami-istri plus anaknya yang duduk di depan Saya,-David-Suhe mau diajak tukar guling kursi dengan punyanya Dicky, Usman, Reza. Menurut analisis saya, mereka bukanlah anggota DPR atau DPRD, sebab kalau mereka anggota DPR atau DPRD sudah pasti mereka tidak akan mau diajak tukar guling kursi *apeu*. Sementara itu, Roni-Bayu dan Rahmat-Aby tetap duduk punggung-punggungan karena orang yang duduk di depan mereka nggak mau diajak tukar guling kursi (hmm, jangan-jangan anggota DPR nih " `з´ ). Jadilah formasi kami hari itu jadi begini:
Naik kereta api tak bolehlah naik dengan percuma :)

Dua pria lanjut usia meratapi masa tua di kereta, (" `з´ )_,/ (-__-')

Sebenarnya saya nggak suka naik kereta, mungkin terbawa kebiasaan bahwa kalo naik kereta di seputaran Jakarta, view di kiri-kanan sepanjang perjalanan tidaklah enak untuk dipandang, miris malah. Akan tetapi kata orang-orang, view kereta yang jurusan ke Jawa Tengah/Jogjakarta/Surabaya itu beda, katanya view-nya indah, bagus dan sebagainya. Oh iya, buat saya, baru pertama kali ini saya naik kereta untuk menuju ke daerah Jogjakarta. Biasanya saya lebih suka menunggang bus kalo bepergian membelah Pulau Jawa. Sayangnya saat itu Indonesia sedang mengalami musim kemarau yang parah. Sepanjang awal perjalanan, yakni di wilayah Jawa Barat, pemandangan yang saya lihat hanya tanah pecah-pecah dan sawah-sawah gersang. Tidak ada hehijauan sama sekali, bahkan rumput-rumput di tepi-tepi jalanan juga sudah menguning pertanda sakaratul maut.

Perjalanan di kereta dilalui dengan suka cita. Ada saja bahan cerita yang dibahas sembari menjajal satu per satu jajanan kereta yang bersliweran tanpa henti. Beruntunglah sosok-sosok yang paling ditakuti dalam perjalanan melalui kereta api tidak begitu sering menampakkan batang hidungnya. Iya betul, mereka adalah: PENGAMEN!!. Sudah sejak lama pengamen, dengan segala bentuk modus operandinya, menjelma jadi sosok yang paling "disegani" setiap penumpang dalam menempuh perjalanan melalui kereta api ekonomi. Sebagai antisipasi, segepok uang receh sudah disiapkan jauh-jauh hari, demi kemaslahatan dan keselamatan berkendara selama di kereta. Ibaratnya, sedia receh sebelum hujan (bogem). Tapi ternyata, pengamen yang muncul bisa dihitung dengan jari. Entahlah, mungkin hari itu lagi ada konferensi persatuan pengamen kereta api seluruh Indonesia atau disingkat PPKASI (ini ada beneran atau nggak?? entahlah..).

Jangan senang dahulu kalau pengamen yang berkeliaran di gerbongmu sangat sedikit, karena masih akan ada wujud lain yang akan "menghantui" perjalanan kalian, dan sosok itu biasanya mereka-sebut WARIA!! щ(ºДºщ) graaaaahh..... Jumlahnya mungkin tidak akan melebihi hitungan rokok Dji Sam Soe, tapi dampak sistemiknya sangat terasa sodara-sodara. Jadi didatangilah kursi kami oleh seorang waria yang bernyanyi lagu apalah saya nggak ngerti, sambil membawa kecrekan dari tutup botol fanta (ada 3 biji kalau saya nggak salah lihat). Dari kejauhan sebenarnya sudah terdengar bagaimana suara mesosopran semi ngebass-nya yang bernyanyi sambil melantunkan jargon andalannya "... wer hewer hewer, glodak!..." pada sela-sela nyanyiannya. Cukup ampuh untuk membuat ngakak guling-guling kalau diliat dari jauh, kalau dari dekat ya...... *kemudian hening* *angin berhembus* *rumput bunder nggelinding*.

Mendekatlah dia sambil bergaya lenjeh-lenjeh macho nyolek-nyolek pipi. Saya lagi apes karena ikut dicolek (-___-') plus dipanggil dengan nama.... Irfan Bachdim!! sodara-sodara. Entah harus senang atau sedih saya menyikapi hal ini. Untung bukan dipanggil Justin Bieber yah.... Setelah dikasih uang, dia pergi ke kursi di depan dengan menjalankan modus operandi yang sama. Kita dibelakangnya sakit perut nahan ngakaks :D
Tariikk mang... wer hewer hewer, GLODAK!!

David pingsan abis ditowel "si wer hewer hewer glodak!" kasian dia :(

Menjelang malam, kereta mulai sedikit senyap, yang masih asik ngobrol di gerbong itu mungkin cuma rombongan nggak jelas ini. Beberapa orang yang nggak dapat tiket duduk sudah tidur pulas beralaskan koran-koran di-gang-antar-kursi yang sebenernya berfungsi sebagai jalan. Agak miris ketika liat mereka dikangkangi oleh orang-orang yang berlalu-lalang melewati sebelah kiri saya. Yap, kereta ekonomi KERAS bray!! begitu kesimpulan saya saat itu. Keadaan kereta saat itu sedang berhenti menepi supaya memberi jalan buat kereta lain yang bergelar eksekutif atau kereta lain yang lebih tinggi pangkatnya dari ekonomi agar lewat. Sungguh baik hati kereta api yang kami naiki ini, rela ngalah untuk memberi jalan pada siapa pun kereta yang lewat. Waktu itu sedang berada dalam wilayah pemerintahan kota Purwokerto, di tengah semacam sawah, saya ingat betul. Pas liat keluar jendela, Usman kaget liat kedap-kedip lampu-lampu warna-warni di udara. Analisis awal saya dan teman-teman bahwa itu adalah cahaya lampu rumah penduduk atau mungkin cahaya bintang malam. Tetapi begitu cahanya itu bergerak ke kiri-kanan tertiup angin, barulah saya yakin kalau itu bukan cahaya bintang apalagi cahaya rumah penduduk (mana ada rumah bisa gerak kiri kanan ketiup angin -__-). Belakangan baru saya tau, kalo itu adalah layang-layang yang dikasih semacam LED gitu, jadi bisa nyala warna-warni. Di Purwokerto ternyata memang orang-orang sana suka main layangan model begini #barutau, dan layangannya setelah naik, sengaja nggak diturunin, dibiarin aja begitu sampe malam, sampe besok harinya lagi. Unik dan keren, sayang lupa nggak difoto, hsss #NyeselSetengahMampus.

Lanjut sampai di stasiun mana gitu, ada rombongan penumpang kereta Prameks (Prambanan Ekspres) yang mogok di tengah rel (mungkin businya lagi ngadat atau habis bensinnya, saya kurang paham sebabnya) dioper ke kereta ini. Sungguh salut lah buat kereta ini, baiknya luar biasa. Udah sering minggir ngasih jalan, sekarang malah nerima operan dari kereta mogok. Super sekali!! kalo kata Pak Mario Teguh.

Karena adanya penumpang operan inilah, kereta yang tadinya nggak akan berhenti di Stasiun Tugu, mendadak jadi akan berhenti di sana. Rencana berubah, setelah tadinya kami merencanakan turun di Stasiun Lempuyangan (sesuai tiket yang kami beli) tujuan kemudian dirubah bahwa kita semua akan turun di Stasiun Tugu. Asal tahu saja, saat itu sama sekali belum ada bayangan mengenai malam ini mau nginep dimana dan bagaimana. Kita memang selalu menunggu wangsit dari alam untuk memberikan petunjuknya (baca: susah mikir -red).

"Udah lah pikirin ntar aja, kita kan emang otaknya kecil-kecil, pikirannya pendek. Kalo dipake mikir langsung mengkerut lah ini otak." Celetuk Usman yang langsung disambut gelak tawa dari yang lain.

JOGJA!, mana suaranyaaaaaahh???? \m/

Jreng.. jreng.. Jreng!!! Akhirnya sampailah kita di Ngayogyakarto Hadiningrat, saat itu jam dinding di stasiun tugu menunjuk pada angka 22.52 WIB, sekitar pukul 11 malam. Stasiun Tugu sedang sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk di kursi tunggu dan beberapa petugas stasiun berseragam sedang berjaga-jaga sesuai tugasnya masing-masing. Fiuhh, akhirnya perjalanan sekitar 12 jam (kalau dihitung dari mulai berangkat sejak kos-kosan saya) berakhir dengan keselamatan menjejakkan kaki di Kota Istimewa, Jogjakarta. Alhamdulillah yah, kalau boleh mengkopas jargon milik Syahrini.

angkringan yang jadi sasaran penyaluran hasrat...

Acara pertama kami di Jogja malam itu adalah mencari angkringan Kopi Joss yang tersohor itu. Buat yang belum tahu, kopi joss itu adalah kopi yang dicemplungin areng membara ke dalamnya. Iya, areng yang membara merah menyala gitu. Rasanya memang lain dari kopi biasa, lebih kental dan lebih manteb. Joss gandhos, kronyoss-kronyoss kalau orang Jawa bilang. Ternyata banyak dari kawan-kawan saya yang nggak ngerti kopi joss. Beberapa diantaranya malah ada yang ngira areng yang dicemplungin itu semacem makanan dalam kopi yang bisa dimakan (-___-') hssss.
Ooohh, Ini yang dinamakan kopi joss itu *manggut-manggut*

Suasana Jogja malam hari masih cukup ramai, banyak anak muda kongkow-kongkow di tempat langganannya masing-masing. Salah satunya ya angkringan kopi joss ini. Persis seperti lirik lagu KLA Project yang berjudul Jogjakarta~

Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Ketika Nasi kucing dimakan oleh manusia, demikianlah

Aby, sang manusia-tanggap-kamera

Selesai ber-kopi joss ria, barulah kita bingung mau tidur dimana malam ini. Saat itu sekitar jam setengah dua belas malam, jalanan Jogja sudah sepi, meski masih jamak ditemui anak-anak muda yang lagi nongkrong. Satu tujuan yang sepertinya realistis untuk saat itu adalah hotel bintang satu alias Masjid. Yeah, berhubung tema-nya adalah backpackeran minim budget, tidur di mana saja adalah salah satu prinsip yang harus dipegang teguh oleh kita semua. No problemo. Masjid terdekat yang ada di peta adalah Masjid UGM, kalau di peta yang kami pegang, jaraknya hanya sepanjang jari kelingking. Maka berjalanlah kami ke arah utara dari Stasiun Tugu, sesuai dengan arah di peta. Terus lurus saja sepanjang jalan pokoknya. Sampailah kita di Monumen Tugu Jogjakarta.

Jeprat-jepret sekali dua kali, perjalanan dilanjutkan kembali. Terus ke utara pokoknya. Sampai akhirnya di Jalan AM. Sangaji kita menemukan masjid yang terbuka. Akhirnya... bisa tidur juga malam itu, tanpa harus jalan lebih jauh ke kampus UGM. Barang-barang ditaruh, handphone-handphone akhirnya diberi makan melalui colokan-colokan yang ada di masjid. Satu per satu dari kita mulai memasuki alam mimpi. Fyuuhh, hari pertama di Jogja berakhir dengan pulasnya saya tergeletak di lantai masjid dengan berbantal tas dan berselimut jaket. #kemudianhening #heningnyaBeneran.

*bersambung*

Adios - Gale

Tidak ada komentar:

Posting Komentar