Minggu, 30 Oktober 2011

Jogja Trip, Day 3: Pantai Aja!! Kayak di Santai...

Visit Jogja 2011
Pagi kedua dan juga hari ketiga saya beserta rombongan "Sekte agak Sesat tapi Tidak Murtad" pimpinan Ahmad Reza, orang Depok yang mengaku sebagai Nabi, dalam rangka perjalanannya mengambil kitab suci (halah) di Jogjakarta, berawal karena suara adzan masjid yang menganiaya lelap saya dengan menyerukan ajakannya untuk menunaikan sholat Shubuh. Alih-alih malah meneruskan tidur diselimuti dingin pagi Jogjakarta, setengah sadar, saya berlari ke pancuran untuk mengambil wudhu lalu bergerak menggagahi shaf (woalah, menggagahi kok ya shaf -_-') yang masih kosong di tengah-tengah jama'ah pagi itu.

Kemudian berlalulah sepasang raka'at yang relatif datar. Sepasang raka'at yang sesungguhnya tak teramat khusyuk buat saya karena fokus saya lebih tercurah pada usaha saya menahan kantuk, yang bukan main luar biasanya sanggup membuat saya mangap-mangap waktu sholat. Cepat-cepat setelah salam ditunaikan, saya kembali rebahan untuk meneruskan lagi episode berjudul tidur yang sempat ter-pause tadi. Sementara kawan-kawan saya yang lain sepertinya juga sepaham dengan saya. Mereka kembali pada barisan tidurnya masing-masing untuk melanjutkan tidurnya.

******************

"Hotel" kedua, Margo Yuwono  :p
Jam sudah bertengger pada angka tujuh saat saya terbangun untuk yang kedua kalinya (kalau tiga kali sebenernya akan dapat hadiah payung cantik, ah sayang sekali). Itu gara-gara suara Bayu Kartawidjaya, orang terlanjur kaya yang mengaku sebagai pemilik seluruh tanah di wilayah Cilandak, termasuk juga Citos dan KPP Pratama Cilandak (silahkan untuk tidak percaya). Sudah jam tujuh, begitu kata dia. Masih ngantuk dan malas, tapi mau tak mau kebersamaan saya bersama dunia mimpi harus diakhiri. Selain karena nggak enak sama mas-mas penjaga masjid hotel ini, kita juga harus siap-siap untuk berangkat ke tujuan berikutnya. Dan tujuan kita hari ini adalah............. Pantai Parangtritis!! Booyah.~

Parangtritis dipilih sebagai destinasi oleh sebab kemudahan akses transportasinya menuju sana, selain penghematan tentu saja #MentalAnakKost. Sebagai rombongan hemat biaya dengan volume manusia yang berjibun, kalau harus menuju ke pantai-pantai dengan venue yang "tersembunyi" pastinya bakal ribet dan memakan cost yang tidak sedikit. Maka dari itu, meskipun dari segi estetika selayang pandang dan sanitary kalah jauh dibanding pantai-pantai lain, semisal Pantai Baron dan Krukup, Parangtritis, secara bulat-bulat dan mufakat, dipilih oleh kami. Yang penting pantai, dan masih ada awalan "pan"-nya. Karena kalau tidak ada "pan"-nya hanya akan jadi.... ah sudahlah.

Saya sudah menuntaskan "kesibukan kamar mandi" ketika Reza, yang meskipun mengaku sebagai Nabi tapi tidak mengaku Rosul, mengajak saya ke Alun-alun Selatan untuk mencari sarapan. Sementara yang lain masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing, bahkan, Bangkit Indra Sasmita (akrab disapa Bangkit) dan Muhammad Syaroni (lebih suka dipanggil Roni), yang alhamdulillah tetap setia bersama kita, masih mengigau dalam sela-sela tidurnya (hsss .__.'). Keduanya memang telah dinobatkan sebagai juara bersama lomba ~"Tertidur dengan muka ganteng 2011"~ yang mana pesertanya adalah hanya mereka berdua. Demikianlah wujudnya:

Bangkit Solmed, nominasi 1 - Tertidur dengan muka ganteng 2011

Roni Al-Bukhori, nominasi 2 - Tertidur dengan muka ganteng 2011 (perhatikan tangannya :p)
Mari kita tinggalkan sejenak ke-eksotisan Roni, yang bergelar Al-Bukhori, dan Bangkit yang bergelar sebagai Solmed (Solmed-nya Anggi Adriawan maksudnya), dengan bergerak menuju Alun-alun Selatan, yang mana pada pagi itu, konon katanya, banyak warung yang menjual sarapan enak lagi halal. Alun-alun Selatan pagi itu boleh dibilang ramai meski tidak ada pagelaran atau hajatan, dan juga kebakaran apapun yang terjadi di sana. Hanya saja, akan sangat jamak ditemui orang-orang yang sedang berolah raga pagi dan/atau jalan-jalan sehat di seputaran Alun-alun. Tidak sedikit juga yang hanya sekedar mencari jajanan kuliner pagi untuk sarapan seperti halnya Saya dan Reza.

Sepiring nasi uduk beserta lauk pauknya jadi sasaran pelampiasan kelaparan saya dan Reza (Yelah, jauh-jauh ke Jogja, sarapannya masih aje nasi uduk, (´▽`)> maklum nyari yang hemat #MentalAnakKost). Dan ya, harus diakui, sarapan dengan metode lesehan-sambil-memandangi-orang-orang-yang-lagi-berolahraga-pagi adalah sesuatu banget --mengutip jargon populer milik Syahrini. Menurut survey random Lembaga Survey Untuk Tahu (biasa disingkat LASUT), tingkat kenikmatan dalam melahap sarapan bakal naik sampai 231,76% dan tingkat kegantengan wajah juga akan meningkat sekitar 52,75% (halah, iki ki wuopo), apabila kau melakukan sarapan dengan lesehan seperti itu. Setelah saya praktekkan bersama Reza, poin yang pertama benar sahih terbukti, tetapi untuk poin yang kedua......... *some text missing*

Seselesainya nasi uduk disarap, saya dan Reza bertolak kembali ke masjid hotel tempat kami menginap. Di masjid hotel (capek juga ya nge-strikethrough tulisan "masjid" terus :p), ternyata Roni Al-Bukhori dan Bangkit Solmed masih belum bangun juga dari tidurnya. Maka, demi siapapun yang telah mengarang lagu "Bangun Pemudi-Pemuda", pastilah dia, dimanapun dia berada, sedang menangis kalau melihat Bangkit dan Roni yang masih tidur ini. *kemudian mengheningkan cipta*

Suasana kemelaratan, hidup wong cilik!!
Butuh perjuangan keras, sekeras kepala Megawati Soekarnoputri yang masih ngeyel mau nyalonin diri jadi presiden di pemilu 2014, untuk membangunkan Roni dari tidurnya. Kalau saja kami ini bukan orang-orang yang sabar, mungkin saja gelar Al-Bukhori milik Roni sudah berubah jadi Al-Marhum. Maka ketika akhirnya dia bangun, kami girang bukan kepalang, untuk merayakannya, sampai-sampai kami sepakat untuk mengundang Ustadz Solmed dan juga band Wali dalam acara selamatan dan syukuran.
~ #nowplaying: Wali - Aku bukan bang Thoyib ~

********************
permisi, Mbah, numpang foto dulu....
Singkat kata, menjelang siang, kami berkumpul di Alun-alun Selatan. Lebih tepatnya di bawah dua pohon beringin kembar, yang menurut kepercayaan orang-orang Jogja, apabila bisa melewati celah di antara kedua pohon ini dengan mata tertutup, maka apa yang kita inginkan bisa terkabul. Merasa penasaran, kami pun ikut-ikutan nyoba, dan beginilah hasilnya:

~Bangkit Solmed epicfail action (¬_¬")


dan ini aksinya Bayu Kartawidjaya, epicfail juga! (¬_¬")~


Bermodal kegagalan dua orang ini, yang padahal adalah imannya paling kuat dari seluruh anggota rombongan, maka dapat disimpulkan kalau yang lain juga pasti gagal kalau mencoba hal yang sama. Maka dari itu daripada lama-lama di sini, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan awal yaitu Pantai Parangtritis. Sementara itu, Agus Reza Pahlevi, pria mirip vokalis Yovie and Nuno, apabila dilihat dari Monumen Jogja Kembali pakai sedotan, yang didalemnya dimasukin tusuk gigi, memutuskan untuk cabut dari rombongan karena mau (lagi-lagi) ketemu sama -ehemm- pacarnya. Dia akan menyusul langsung ke Parangtritis, nanti sore, setelah misinya selesai. Sungguh benar kalau persahabatan hanya sebatas lambaian tangan pacar. Ah Sudahlah.

Untuk sampai ke Parangtritis, menurut simbah yang kami tanyai di alun-alun, kami harus naik mini-bus yang mengambil trayek ke arah Bantul (mBantul mana suaranyaaaaahh??) dari perempatan terdekat. Simbah juga memberi wejangan kepada kita bahwasanya,

"Nanti langsung bayar aja lima ribu, bilang saja sudah biasa. Soalnya kalo ndak, nanti malah dikenaken ongkos 10 ribu."

Nah, memang supir bus ada yang baik, seperti Mas Basir misalnya, ada juga yang "kurang" baik, seperti supir bus yang kita tumpangin ke Parangtritis ini. Berawal dari kecerobohan Roni yang malah main tawar-menawar harga sama supir bus ini, padahal sama simbah tadi kan sudah dibilangin langsung naik aja, kayak udah biasa main ke Parangtritis. Ternyata Pak supirnya ini malah langsung masang tarif (yelah nggak enak bener bahasanya masang tarif, lu pikir kita-kita ini cowok apaan hah?) 10 ribu per orang, dengan memberi janji-janji ala wakil rakyat bahwa nanti kami nggak perlu bayar tiket masuk lagi. Yah, mau tak mau kita naik juga, cuma selisih goceng ini, woles lah. Kalau selisihnya 50 ribu barulah kita nggak woles. Kita bakal mendklarasikan perang saat itu juga. Perang apapun, Perang dingin, Perang Diponegoro, Perang batin, maupun Perang-sang hormon badak. Yang penting perang!! *apeu* *keselek bambu runcing*

Salah satu poster Munir yang saya temui di Jogja, ya benar sekali, jangan pernah lupa!!
Bantul, Jogjakarta, ternyata adalah kota kecil yang masih alami dengan suasana pedesaannya yang permai. Di kiri kanan jalanannya jamak ditemui sawah dan ladang. Mirip-mirip seperti kampung halaman saya, Manchester Wonogiri, kota Gandul yang permai (wah jadi kangen Wonogiri). Udaranya segar, pepohonannya rindang-rindang, suasananya tenteram. Beda jauh sama Jakarta. Jakarta keras dab! tapi juga bikin kangen #halah. Butuh sekitar sejam perjalanan, yang tidak membosankan, untuk sampai di tujuan dan mencicipi aroma Pantai Parangtritis.

Matahari sudah sangat perkasa mengawang-awang di tengah langit selatan Jogjakarta saat kami menjangkau pintu masuk Pantai Parangtritis dengan selamat sentausa. Tenang saja, begitu sampai di sana, tidak ada satupun dari kami yang melakukan check-in di foursquare ataupun nge-tweet "Touchdown Parangtritis! anyone??" seperti layaknya anak-anak gaul kekinian. Tidak, kami tidak seperti itu. Yang kami lakukan pertama kali begitu sampai di sana adalah makan. Ya, urusan perut memang kesunyian milik masing-masing, yang akan jadi nyaring kalau tidak segera dinafkahi. Lagipula, masih terlalu dini dan panas untuk melaut, sehingga kami putuskan untuk menunggu sampai sore tiba, sambil bercengkrama saja.

Pantai Parangtritis
Di tengah obrolan, sampailah kami pada fase dimana kami merasa sudah jengah berpura-pura jadi kaum proletar, dan ini saat yang tepat bagi kami untuk menunjukkan keborjuisan kami. Akhirnya disepakatilah bahwa malam ini, kami akan menyewa kamar di salah satu penginapan sekitar pantai, yang paling mahal kalau perlu. Yang ada spa-nya, ada jacuzzinya, ada bar-nya, ada casino-nya, ada dono-nya, ada indro-nya juga (iki uopo sih, ra nggenah blas). Jadilah siang itu Roni, sebagai menkominfo paling teladan di seluruh alam semesta, beserta Suhendra Wahyu, yang menjabat sebagai menkeu (baca: bendahara) paling sumringah di jagad makhluk hidup, dan Dicky Perdana Putra, menkumham (menteri hukum yang tidak paham) dengan tongkrongan paling metal, dikirim sebagai delegasi pencari "rumah singgah" untuk malam ini. Sementara saya, Bayu, Reza, Bangkit, dan Anggi berasyik-masuk ongkang-ongkang kaki sambil menyeruput es degan di salah satu rumah makan pinggir jalan.

siang hari di parangtritis
Tidak lama setelahnya, sms dari Roni datang memberi kabar kalau dia sudah mendapatkan penginapan, yang paling mahal tentu saja. Cih, pergi sana wahai kau status proletar rendahan, malam ini kami akan jadi borjuis yang paling congkak di seluruh negeri. Tidur beralaskan ranjang empuk, yang sudah dua hari ini tak pernah kami temui. Urusan penginapan sudah aman, sore harinya kami menyerbu pantai. Agus juga sudah bergabung lagi ke dalam squad, setelah sempat mendapat akumulasi kartu kuning *apeu*.

********************
"Ooo anak pantai, suka damai...
ooo anak pantai, hidup santai...
Mulai  petang dengan mata redup,
aku rebah di atas pasir
memandang gadis-gadis kulitnya merah terbakar" - Imanez
Jama'ah??.... | HOOOOOOYYYYY....
Indonesia, memang terkenal dengan pantai-pantainya yang indah, salah satunya ya Parangtritis ini. Tapi itu dulu. Semua telah berubah semenjak negara api menyerang (¬_¬"). Parangtritis sekarang sebenarnya masih indah sih, hanya saja kotor bukan main. Sepanjang pantai, sampah bertebaran cukup banyak, ini sangat mengganggu pemandangan. Kalau diibaratkan, bak jigong komodo di sela-sela paha bidadari. Ya benar, tingkat keelokan pantai jadi berkurang sekitar 38,93% akibat sampah-sampah yang bertebaran tadi.

Cherrybelle kelebihan hormon testosteron
Usut punya usut, memang, lokasi tempat sampah yang disediakan, letaknya cukup jauh dari pesisir pantai. Orang Indonesia, yang memang terkenal pemalas (dan juga kurang peduli lingkungan), tentu saja akan memiliki seribu alibi untuk membuang sampah sembarangan ketika mendapati fakta ini. Coba saja seandainya, di pesisir pantai ini disediakan tempat-tempat sampah yang mudah dijangkau, meskipun ya tidak menutup kemungkinan bahwa pantai masih saja akan kotor, setidaknya tidak akan sekotor seperti sekarang ini. Semoga kedepannya masalah sampah ini bisa diatasi oleh Dinas Pariwisata Jogjakarta (eh masih ada nggak sih dinas pariwisata, apa udah diganti ya??) atau pihak-pihak lain yang (mungkin) peduli sama kebersihan pantai.

Akan tetapi, kotornya pantai ini tidaklah sekotor jiwa-jiwa penuh noda milik kami. Sesuai nasehat dari iklan Rinso, bahwa "Berani kotor itu baik, dan berhati kotor itu lebih baik", kami menginvasi pantai, dengan penuh euforia, bagai pocong mandi goyang pinggul yang disiram kuah soto. Jadilah sore itu, laut pantai selatan yang sakral, dikotori oleh telapak-telapak kami :

Pantai aja, kayak di santai...
A: Saya Mansyur.. | B: Saya Es... | AB: Kami dari.... MANSYUR ES!!
entah kenapa tiap  foto se-frame sama David, selalu tampak maho begini (¬_¬")


~ Watch this video!! ~



Kalo God Bless punya lagu "Menjilat Matahari", Usman lebih memilih "Men-cipok Matahari"
salah satu foto yang (kebetulan aja) bagus, padahal nggak pake instagram
Makhluk bumi, bantu aku mengalahkan Majin Bhu, kumpulkan bola semangat kalian ke udara!
Santai aja, kayak di pantai!
Pantai adalah salah satu tempat paling ajaib di muka bumi. Satu-satunya tempat di mana langit dan laut bisa berjodoh. Suatu hal yang kalau dipikir secara logika adalah mustahil, tapi di pantai, kemustahilan itu tidak berlaku. Memandang pertemuan antara langit dan laut selalu menyenangkan, bahkan, akan membuatmu betah berlama-lama berada di sana. Begitupun halnya saya, dan juga mungkin kawan-kawan yang lain. Hanya saja, saya tak bisa berlama-lama di sana, terbenamnya matahari menyudahi perjalanan kami dalam kompetisi merebut gelar Indonesian Idol, eh salah, kebersamaan kami bersama pantai sore itu. Menjelang Maghrib, kami kembali ke Hotel (Alhamdulillah, kali ini bener-bener hotel) untuk membersihkan badan dan hati serta pikiran (halah).

Bingung mau pesen apa, dompet udah mangap-mangap
Malam harinya, menuruti request dari Rahmat Rusfandi, arek Malang yang pandai menjaga diri, untuk makan malam seafood di pinggir pantai, bergegaslah kami ke salah satu rumah makan yang menjual seafood di sekitar pantai. Saya memesan seporsi cumi goreng tepung, yang ternyata porsinya jauh lebih sedikit dibanding cumi goreng yang ada di D'Cost. Tak masalah, toh saya bisa "bertukar" lauk ke teman-teman saya yang lain, dan vice versa #MentalAnakKost #GaMauRugi. Makan bareng yang cukup rusuh akhirnya berakhir dengan langkah-langkah gontai kembali ke penginapan.

kali ini hotel beneran nih, tapi juga nggak hotel-hotel amat sik #GagalBorjuis
Menghabiskan malam, kami sibuk memulai aktifitas masing-masing. Ada yang nonton TV, main poker, ngobrol-ngobrol, telponan sama pacarnya, dan ada juga yang langsung tidur. Saya sendiri memilih ikut kejurnas poker bersama Usman, Suhe dan Reza. Meskipun tidak bertahan lama juga sih, karena sudah ngantuk (baca: kalah melulu :p saya memang anak baik-baik, tidak bakat main kartu). Bayu akhirnya menggantikan posisi saya di meja hijau, sedangkan saya beranjak ke haribaan kasur empuk untuk mengakhiri malam di selatan Jogjakarta.

*maunya sih bersambung, tapi kita lihat saja nanti :p*
Adios - Gale

2 komentar: