Sabtu, 21 Januari 2012

Mengadili Ekspektasi


Orang-orang bijak sering berkata, "Ekspektasi orang lain, sesungguhnya adalah takaran paling ekuivalen atas potensi yang kita miliki dalam diri kita", sebuah pendapat yang dahulu kala amat sangat tidak saya yakini kebenarannya, meskipun pada kenyataannya memang ada benarnya juga. Sebab, sebagai pemilik diri saya sendiri secara pribadi, tentunya saya adalah orang paling tahu mengenai batas-batas kemampuan saya sendiri. Tahu apa orang-orang itu sehingga mereka berani melimpahkan sebuah ekspektasi yang, menurut pribadi saya, di luar kapabilitas saya, sehingga kemudian mereka dapat menuntut saya dengan pelbagai cerca ketika saya gagal memenuhinya.

Dahulu kala, saya sering beradu argumen dengan Ayah saya ketika prestasi saya di bangku SMP tengah jeblok tidak keruan. Ya, dibanding masa-masa digdaya saya di bangku Sekolah Dasar, dimana saya selalu keluar sebagai juara kelas, prestasi saya di masa seragam putih-biru memang bobrok luar biasa. Boro-boro meraih jawara kelas, saya lebih sering tersisih dari persaingan memperebutkan posisi 10 besar yang membuat kolom "mendapatkan peringkat ke: ....." pada rapor saya lebih sering melompong tak bertinta.

Mungkin dikarenakan ekspektasi tingginya atas diri saya, Beliau kemudian tidak hentinya menghujani saya dengan beragam kritik dan nasihat, serta tidak jarang berupa omelan, yang kerapkali membuat merah kuping saya. Reaksi saya waktu itu mungkin cukup umum dilakukan anak sebaya saya: membangkang. Saya tak terima begitu saja, sebab saya merasa memang seperti itulah kapabilitas saya yang sebenar-benarnya. Terlepas dari prestasi yang memang menukik drastis, jika dibandingkan ketika saya masih di bangku sekolah dasar, saya tetap merasa ekspektasi yang beliau pikulkan untuk saya memang kelampau batas.

Hal yang serupa sepertinya juga tengah menimpa seorang Cristiano Ronaldo. Pemuda kelahiran Madeira itu belakangan justru lebih sering dicemooh pendukungnya sendiri, alih-alih dinyanyikan alunan chant-chant sanjungan seperti yang kerap ia terima sebagaimana biasanya.

Secara performa, CR7, begitulah ia populer disebut, memang tak bisa dikatakan meredup. Sumbangsih 21 golnya hingga paruh musim ini, turut serta menempatkan Los Merengues sebagai jawara paruh musim La Liga, unggul 5 angka dari rival mereka, Barcelona. Ronaldo juga bercokol sebagai pemain tersubur dalam deretan top scorer di Divisi Primera, unggul jauh dari para pesaingnya. Masalah baru bermula ketika El-Clasico jilid pertama mentas pada Desember lalu.

Di kandang sendiri, Stadion Santiago Bernabeu, Los Galacticos dipaksa tumbang 1-3 atas musuh bebuyutan mereka, Barcelona. Hasil yang menyakitkan bagi para Madriditas sebab ini untuk yang kesekian kalinya, mereka dipaksa menyaksikan Blaugrana berpesta di pelataran rumah mereka sendiri. Ronaldo sendiri pada partai tersebut, tidak begitu sering terlihat aksinya dan seolah kehabisan akal membentur tembok-tembok tebal defender Barca. Hal inilah yang lantas mengapungkan nada-nada sumbang di sekeliling Ronaldo.

Sebagai pemegang rekor transfer termahal di dunia, sebesar 90 Juta Pounds, wajar jika ekspektasi publik Madrid untuk seorang CR7 teramat sangat tinggi. Dan ketika ia "menghilang" pada laga superpenting macam El-Clasico, kontan saja pada pekan berikutnya cemooh untuk dirinya lantas mengemuka dari pelbagai penjuru, bahkan oleh suporternya sendiri. Hal yang tentu amat jarang ia rasakan, sebab sang CR7 tentu lebih familiar dengan pujian daripada cemooh. Bahkan, nun jauh di kota Manchester sana, lakon "Viva Ronaldo, Viva Ronaldo" masih sering dikumandangkan secara gempita oleh fans-fans Manchester United untuk mengenang kehebatan sang primadona.

Reaksi yang dilakukan sang primadona ternyata tak beda jauh dengan yang saya lakukan terhadap Ayah saya. CR7 tak berdiam diri begitu saja mengetahui dirinya sedang dihujat oleh pendukung Madrid. Ketika pada awal Januari kemarin dirinya sukses menceploskan bola ke gawang Granada, selebrasi bak pencetak gol bunuh diri justru diperlihatkannya, alih-alih melakukan selebrasi girang seperti yang biasa ia lakukan. Selebrasi yang sedikit banyak menggambarkan protesnya kepada fans yang menghujatnya. Semacam "pembangkangan" yang dibuatnya untuk menunjukkan protesnya terhadap ekspektasi tinggi yang harus ia pikul. Karena memang tak mudah menjaga ekspektasi yang diberikan seseorang, sesempurna yang mereka inginkan.

Sebuah ekspektasi pada akhirnya akan mirip-mirip dengan sebuah ramalan. Kadangkala suatu ekspektasi akan terbukti kebenarannya, tapi bisa juga ia akan sama sekali meleset dari apa yang dicanangkan. Bedanya hanya, sebuah ekspektasi disusun dalam taksiran yang lebih material berdasarkan potensinya, baik yang sudah dikeluarkan maupun yang masih tersimpan rapi di dalam raga pemiliknya, jika dibanding dengan ramalan yang bisa dibuat tanpa berlandaskan apapun.

Dan Cristano Ronaldo, seperti halnya saya, memang cuma seorang manusia biasa yang juga bisa mengalami fase "menukik" pada saat-saat tertentu. Dan ketika fase itu berlangsung, hujatan, cibiran, makian maupun kritik, adalah sesuatu yang lumrah akan segera berhamburan dari pihak-pihak yang menaruh ekspektasi tinggi atas diri kita. Sesekali melakukan pembangkangan sejatinya adalah sesuatu dapat dipahami asalkan masih berlangsung dalam koridor yang wajar. Sembari kemudian tidak lupa untuk mengintrospeksi diri sendiri, dan mencoba memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dimiliki.

Satu gol CR7 ke gawang Jose Manuel Pinto pada Jum'at pagi (20-01-2012) kemarin, memang lagi-lagi tak bisa menyelamatkan Los Merengues dari kekalahan atas Azulgrana dalam laga El-Clasico jilid kedua yang dihelat di pelataran Santiago Bernabeu. Tapi setidaknya satu golnya ini cukup meredakan cemooh atas dirinya dari para penghujatnya. Satu gol yang juga membuktikan bahwa memang dirinya masih pantas untuk dibebani dengan ekspektasi besar. Sang maestro mungkin tak sanggup seorang diri mengangkat permainan timnya ketika melawan superioritas El-Barca di laga El-Clasico, tapi peluang CR7 untuk membantu Madrid merengkuh trofi jawara La Liga masih terbuka lebar. Dan ketika kelak hal itu benar-benar terjadi, cemooh dari fans pasti akan segera berbalik menjadi puja-puji baginya.

Ekspektasi Ayah buat diri saya mungkin tidak sebesar ekspektasi publik Madrid bagi seorang CR7. Akan tetapi kini, Ayah saya tak pernah lagi memberi kritik serta omelan buat saya. Ya, semenjak saya berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi yang kesohor di pinggiran selatan Jakarta, Beliau tiba-tiba saja menjadi seseorang yang "berbeda". Tak sekalipun Beliau melontarkan kritiknya lagi buat saya. Bahkan hingga kini ketika saya telah diwisuda, beliau hanya sesekali memberikan sedikit wejangan-wejangan ringan buat saya ketika saya memintanya bertukar pendapat. Beliau kini lebih sering membagi puja-puji bagi anaknya. Anaknya yang dulu pernah gagal memenuhi ekspektasi tingginya. Ah, apa mungkin ekspektasi tinggi beliau telah saya penuhi sekarang? Hmm, semoga saja memang demikian.


Adios - Gale
~gambar diambil dari : realmadridzone.blogspot.com

2 komentar:

  1. jadi inget, SMP gw sendirian gak dapen ranking gara2 gap nya lebih dari 10 poin sama juara kelas... penghuni zona merah -_-;;

    BalasHapus
    Balasan
    1. SMP-SMA gw bapuk banget, gapernah dapet rangking, kebablasan sampe kuliah juga sik, hahaha

      Hapus