Senin, 18 Februari 2013

Berwisata

- Setelah #7HariMenulis tak ada lagi

Waktu kecil, saya bukanlah anak yang kelampau sering diajak orangtuanya berwisata. Orangtua saya hanya sekali dua mengajak saya berwisata. Itu pun, harus cermat-cermat menghitung sisa kas keluarga dahulu, sebelum palu kepastian keberangkatan resmi diketuk. Sering saya bersungut kepada mereka meminta diajak mengunjungi pasar malam, taman ria, kebun binatang, atau sekedar kongkow-kongkow di taman puring —bukan pasar barang murahnya— ber-selo ria memandangi luapan air mancurnya, sembari menunggu matahari tergelincir ke arah barat. Tapi kedua orangtua saya lebih sering tetap bergeming. Dan berwisata pun menjadi sedikit garib bagi saya dan keluarga.

Paling banter, kalau nasib sedang mujur, biasanya kakak-kakak sepupu saya lah yang akan mengajak saya berwisata. Itu juga, lebih sering hanya berakhir dengan jajan-jajan "Happy Meal" ke restoran cepat saji bermaskot badut yang bernama Ronald. Atau yang paling sering, ditinggal sendiri di bagian komik Gramedia Blok M, sementara kakak-kakak sepupu saya asyik berbelanja, berkeliling segala rupa toko busana yang ada di sana. Beberapa jam setelahnya, barulah mereka akan datang menghampiri saya, dengan beberapa kresek hasil belanjaan mereka, untuk mengajak saya pulang.

Tapi terlepas dari apapun bentuknya itu, tak peduli kerap atau tidak, berwisata tetaplah sesuatu yang menyenangkan bagi siapapun.

Dan saya pun selalu antusias saban kali sebuah ajakan berwisata datang menghampiri.

Seperti misalnya ketika beberapa waktu lalu, sebuah akun twitter bernama @birokreasi memprakarsai kegiatan #7HariMenulis. Sebuah kegiatan yang — menurut interpretasi mereka — mengajak para pesertanya untuk berekreasi, berwisata, dan juga bertamasya bersama, dengan cara menulis secara marathon, dalam rentang tujuh hari berturut-turut.

Saat pertama kali menerima ajakan tersebut, saya yang tengah berada dalam lingkupan rutinitas kantor yang banal lagi membosankan, seketika menjadi antusias untuk mengikutinya. Meski bukan berwisata dalam arti yang sesungguhnya, menulis juga adalah sebuah jalur eskapisme yang menyenangkan untuk ditempuh, setidaknya bagi saya.

Belum lagi jika mengingat bahwa #7HariMenulis juga merupakan tantangan yang bakal menggenjot adrenaline. Bagaimana tidak, saya yang biasanya harus melalui 5-7 hari untuk menyelesaikan sebuah tulisan, kini hanya punya waktu sehari saja — itupun tidak penuh — untuk menyelesaikan sebuah tulisan, lengkap dengan proses baca ulang serta segala penyuntingannya. Dan semua itu harus saya lakukan dalam rentang waktu tujuh hari berturut-turut, tanpa boleh mengambil cuti.

Sempat terbayang saya akan gagal merampungkan tulisan sampai saat tenggat deadline terlewati. Sempat juga terbersit kalau tulisan saya akan sangat berantakan karena penggarapannya yang buru-buru. Atau bahkan yang lebih buruk, saya bakal kehabisan ide di tengah jalan, kemudian gagal menyelesaikan tantangan #7HariMenulis, bahkan saat minggu belum berjalan separuhnya. Tapi meskipun demikian, pada akhirnya saya tetap membulatkan maksud untuk ikut serta dalam kegiatan wisata ini. Lepas nanti berhasil atau kehabisan ide, itu urusan belakangan. Sing penting berwisata, mblo.

Maka #7HariMenulis pun dimulai, dan semuanya mengalir begitu saja.

Menulis dengan dibayangi deadline tidak disangka-sangka ternyata malah bisa memberikan stimulus yang begitu meriah bagi kerja otak dan menghasilkan ide-ide yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dari mulai hari pertama, hari senin, hari dimana para pekerja jamak memajang wajah-wajah lesu dan letih, tak ubahnya kerupuk yang dicelupkan ke dalam kuah indomie, saya pun langsung menulis tentang begitu seringnya saya mengeluh terhadap pekerjaan di kantor yang menumpuk dan seolah tak pernah habis-habis.

Lalu berturut-turut setelahnya, ide dan inspirasi datang begitu saja tanpa pernah diduga-duga. Seperti sosok mantan kekasih, yang tahu-tahu menampakan lesung pipit di suatu sore yang sengit, padahal kita belum sempat beranjak dari masa lalu yang sangat konkrit. Duh.

Misalnya saja ide untuk menulis tentang perpustakaan di Sekolah Dasar saya dulu. Lalu tentang menyebalkannya berkendara di jalanan Jakarta. Tentang sebuah kencan gagal, yang berima di tengah-tengah. Tentang album milik band kondang yang kembali dari tidur panjangnya dengan mengusung sebuah identitas baru. Juga tentang seorang maestro yang merayakan hari ulangtahunnya. Semua itu, seperti saya katakan tadi, muncul begitu saja di kepala, untuk kemudian diketik dengan sedikit tergopoh-gopoh, demi memburu waktu yang memang tak pernah bisa menunggu.

Tapi diantara semua tulisan saya di #7HariMenulis kemarin, barangkali saya akan selalu terkikik saban kali membaca ulang tulisan mengenai Mendoan. Bagaimana tidak, tulisan yang tadinya saya maksudkan sebagai manifesto perjuangan saya menyicip-nyicip maneka tempat penjaja mendoan di sekitar saya itu, pada akhirnya malah bermuara kepada glorifikasi tentang mantan kekasih yang begitu sulit untuk dilupakan. Saya benar-benar tak habis pikir, dan saya juga tak pernah paham. Tapi memang demikianlah adanya.

Barangkali, dengan bekerja di bawah bayang-bayang celurit deadline, kadangkala malah mampu membikin seorang penulis — dan mungkin juga pekerja seni yang lain — berhasil menggapai kotak-kotak ide yang tadinya tak pernah mereka jamah sebelumnya. Dan begitulah yang terjadi pada saya, yang tak pernah menulis berkejar-kejaran dengan deadline sebelumnya.

Harus diakui, #7HariMenulis adalah sebuah pengalaman baru yang menyenangkan. Sebuah pengalaman baru yang memperkaya amunisi pengetahuan dan wawasan, serta — ini yang paling penting — membikin setiap orang yang berpartisipasi di dalamnya melupakan sejenak silang sengkarut yang terjadi di kehidupan mereka, juga segala macam keluhan yang pernah mereka umbar secara panjang lebar. Dan kalau memang benar demikian adanya, maka #7HariMenulis telah berhasil memenuhi khittahnya sebagai wahana rekreasi bagi para partisipannya, dengan penuh seluruh.

Kalau boleh mengibaratkan, sekaligus meminjam istilah dari Bung Pram sekali lagi, #7HariMenulis adalah sebuah Pasar Malam, yang walau tak melulu menghadirkan gegap gempita berlebihan, namun tetap terasa meriah lagi menyenangkan. Sebuah bentuk rekreasi, yang mengajak kita untuk rehat sejenak dari gemuruh kegiatan sehari-hari yang terlalu menjemukan. Sebuah bentuk rekreasi, yang telah berhasil membikin para partisipannya merasa benar-benar berwisata, sejak dalam pikiran. Dan juga sebuah bentuk rekreasi, yang akan selalu saya nanti-nantikan untuk kembali ditapaki, pada masa yang akan datang.


Ah, ajak saya berwisata lagi dong, @birokreasi.


Adios - Gale

~tanbihat : untuk membaca-baca lagi tulisan-tulisan di #7HariMenulis kemarin, sila berkunjung ke SINI

3 komentar:

  1. ayok, dibikinin lagi eventnya @birokreasi misal kompetisi menulis dengan 1 judul yg sama atau tulisan bersambung dari blog ke blog?

    BalasHapus
    Balasan
    1. bentar lagi, konon, @birokreasi mau bikin website, bro. nanti bisa ngisi tulisan di sana jg katanya :D *ga sabar*

      Hapus
  2. Anyway, gw untuk #7harimenulis saja gagal disiplin cuma bisa ikut #2harimenulis karena kesibukan (denial detected)

    BalasHapus