Senin, 04 Februari 2013

Surga

I have always imagined that Paradise will be a kind of library."- Jose Luis Borges
Belakangan, saya begitu jarang memasuki sebuah perpustakaan. Perpustakaan terakhir yang saya masuki, barangkali adalah perpustakaan kampus saya dulu yang terletak di belahan selatan Jakarta. Itupun, bukan demi meminjam buku-buku yang menarik, sekedar singgah buat membaca-baca, ataupun melakukan kroscek literasi untuk kepentingan akademis. Yang saya lakukan pada waktu itu hanyalah melakukan konsultasi sumir dengan seorang dosen pembimbing, yang kebetulan memilih untuk ditemui di perpustakaan, alih-alih menemuinya di rumah.

Kebersamaan saya dengan si perpustakaan pun tidak lama, setelah beberapa menit membolak-balik draft laporan saya, sekaligus memberikan wejangan di beberapa bagian, si dosen mengakhiri bimbingannya dengan tergesa-gesa, karena dikejar waktu untuk memberikan kuliah di salah satu kelas. Segera setelahnya, saya pun meninggalkan perpustakaan kampus saya itu juga dengan tergesa-gesa, hendak membetulkan beberapa bagian yang telah dicorat-coret oleh si dosen.

Dan sejak saat itu, boleh dibilang, saya tak pernah lagi memasuki perpustakaan. Saya lebih sering membaca buku di rumah, ataupun menumpang baca di toko buku.

Tapi ngomong-ngomong tentang perpustakaan, saya tiba-tiba saja teringat dengan perpustakaan di sekolah dasar saya dulu. Perpustakaan itu, sebenarnya lebih mirip dengan gudang daripada sebuah perpustakaan. Letaknya saja terdapat di bagian paling belakang komplek bangunan sekolah. Berbatasan dengan kebun belakang, dan agak jauh dari hingar-bingar kegiatan belajar mengajar.

Bangunannya boleh dibilang masih cukup kokoh, khas bangunan Londo. Namun diantara sekian banyak ruangan yang berdiri di dalam komplek sekolah, perpustakaan adalah yang paling dianaktirikan. Cat luarnya banyak yang dibiarkan mengelupas. Dinding-dindingnya koyak di salah satu siku. Beberapa laba-laba pun, gemar membuat apartemen di celah-celah ventilasinya. Bahkan, dari daun pintunya saja, aura kurang ramah sudah bisa ditangkap akibat warna hitamnya yang mulai kelabu.

Benar-benar tidak mencirikan sebuah perpustakaan, apalagi sebuah "surga".

Bagian dalamnya pun, saat saya memasukinya, begitu jauh dari deskripsi yang dirasakan Borges kala memasuki sebuah perpustakaan : "...I enter the Library. I feel, almost physically, the gravitation of the books, the enveloping serenity of order, time magically dessicated and preserved ".

Ruangannya sedikit gelap karena penerangannya hanya mengandalkan sinar matahari yang menembus dari jendela dan celah-celah ventilasi. Hanya ada dua buah bangku panjang yang tersedia di sana, sebagai tempat melepas pantat, serta tiga buah meja kelas yang disambung untuk tempat menopang dagu kala membaca buku. Jika ada sedikit hal yang memenuhi deskripsi milik Borges, barangkali itu hanyalah unsur "the enveloping serenity of order". Suasana di dalam sana memang benar-benar tenang dan tenteram. Jarang sekali ada murid-murid yang mau menghabiskan waktu istirahatnya di sana, ataupun sekedar wara-wiri di depannya.

Saya lalu berpikir, surga macam apa yang tempatnya sedemikian muram lagi dijauhi orang-orang?

Soal koleksi buku, saya benar-benar harus gigit jari sampai jari-jari saya putus kala melihat katalognya. Mayoritas buku-buku yang menyelip di dalam empat buah almari besar di sana, adalah buku-buku pelajaran. Buku-buku sastra klasik Indonesia yang bisa temui di sana, sejauh pencarian saya, hanya ada dua : "Salah Asuhan" milik Marah Rusli, serta "Bekisar Merah"-nya Ahmad Tohari. Sisanya hanya buku-buku cerita lo-fi, yang mungkin memang digariskan sebagai bacaan anak-anak SD belaka. Jikalau kamu mencari-cari "Madilog" milik Tan Malaka, "Mein Kampft" gubahan Hitler, ataupun "Das Kapital"-nya Karl Marx, saya sarankan anda untuk segera bergabung dengan anak-anak yang bermain bola di lapangan depan saja daripada membuang-buang waktu.

Saya jadi bertanya, bukankah sebuah surga, sudah seharusnya menyediakan segala keinginan bagi para penghuninya?

.
.
.
.

Pada akhirnya saya benar-benar tidak tahu, andai saja Tuan Borges saya ajak bermain-main ke sana, ke perpustakaan di sekolah dasar saya itu, apakah beliau masih bisa mengasosiasikannya, perpustakaan di sekolah dasar saya itu, dengan sebuah surga atau tidak. Tapi satu yang selalu saya tahu, definisi surga dari masing-masing orang tidaklah sama. Sebab kadang-kadang, sebuah surga bukanlah tempat yang menyediakan segala sesuatu yang kita inginkan dengan berlimpah ruah. Kadang-kadang sebuah surga, bisa hanya berupa bilik kecil yang menyediakan sebuah hal yang kita butuhkan.

Dan bukan hal yang tidak mungkin jika perpustakaan yang selalu saya anggap butut itu, bisa jadi adalah surga bagi Tuan Borges, atau mungkin buat orang-orang lain di luaran sana.

Well, siapa tahu?

Adios - Gale

7 komentar:

  1. Perpustakaan-perpustakaan binasa karena dua hal :
    1. orang-orang yg semakin enggan membaca
    2. orang-orang yg gemar membaca tapi malas untuk mengembalikannya,, koyo aku, zaman SD mbiyen.

    BalasHapus
  2. hah, untungnya perpustakaan SD sayas erupa ruang kelas, dan banyak fiksi, sayangnya main gobak sodor lebih menggoda #plak

    BalasHapus
    Balasan
    1. sesungguhnya kamu telah melewatkan surga, nak. *dehem ala Aristoteles*

      Hapus
  3. Jangan lupa pada kata Cicero si pilsup: jika anda punya perpustakaan dan taman, anda telah memiliki semua hal di dunia ini. :D

    BalasHapus
  4. Besok kalo punya rumah, bikin perpustakaan kecil di dalamnya. Biar punya surga :)

    BalasHapus