Sabtu, 02 Februari 2013

Katakanlah, Kencan

"Barangkali kita memang telah dikutuk," kataku mengutuki nasib di suatu sore yang busuk.

Lalu kamu menyahut dari ujung yang berlainan, "Apa maksudmu dengan kutukan? Aku tak pernah barang sekalipun dirapal dengan kelaknatan."

"Mungkin bukan kamu. Tidak pernah kamu. Tapi aku," kataku kemudian meralat.

Lalu aku mengingatkanmu tentang bagaimana aku pernah hampir, katakanlah, mengajakmu berkencan.

***

Sore itu, atau hampir sore lebih tepatnya, adalah sore yang cukup cerah untuk sebuah kesepakatan yang sudah dikulminasi sejak jauh-jauh hari. Setelah berkali-kali kita tak pernah, katakanlah, benar-benar berkencan. Tetapi malah bergantian meminta maaf sebagai ekses dari urungnya kesepakan kita untuk, katakanlah, berkencan. Katakanlah itu sebagai kencan yang gagal. Oleh sebab satu dan lain hal, yang selalu kamu sebut sebagai konspirasi semesta. Dan aku tak pernah suka memakai kata itu.

Tapi sore itu sepertinya berbeda. Meminjam istilah kalimusada milikmu, semesta sepertinya sedang berkonspirasi untuk membantuku, membantu kita, untuk menunaikan janji yang telah berulang kali gagal kita laksanakan.

Sore itu, seperti kataku tadi, benar-benar cerah. Tidak seperti ketika kita, katakanlah, urung berkencan akibat hujan deras yang tak habis-habis tumpah dari langit, dari pagi sampai malam, di Sabtu ketiga bulan Desember. Lalu kamu malah meminta maaf, padahal jelas-jelas itu bukan salahmu, pun salahku. Aku lalu bilang masih ada lain waktu, dan kamu langsung mengirim sinyal setuju.

Sore itu, juga bukan seperti saat kita, katakanlah, batal berkencan lantaran dosen pembimbingku tiba-tiba meminta revisi dadakan buat skripsiku yang sedang setengah jalan. Dipaksanya aku memutar arah, saat jalan ke rumahmu tinggal sepenggalah. Lalu aku meminta maaf, sambil menyerapah nama dosenku berulang-ulang. Tapi kamu masih mau memaklumi, dan kita meralat lagi sebuah janji, untuk kembali diperbarui.

Sore itu, juga sama sekali berbeda dengan saat rencana kita, katakanlah, untuk berkencan kembali buyar . Adalah polisi yang berperut merajalela, adalah razia atas nama negara, adalah surat tilang yang kemudian membawa motor bututku menginap di kantor polisi dekat stasiun. Lalu aku harus tergopoh-gopoh menelponmu, untuk kembali meminta maaf. Dan kamu malah menertawankan nasib sial yang menimpaku, sambil meledekku tanpa penjuru.

Maka atas apa yang pernah kejadian di tempo dulu, sore itu, aku berangkat ke rumahmu tanpa sedikitpun rasa waswas. Sementara aku tahu, kamu telah menunggu dengan mawas.

Aku melaju dengan tegas, walau tidak trengginas.

Lalu saat aku sedang di sekitar Pancoran, ban motor tiba-tiba mendesis pelan. Sialan! Ia kempis di tengah jalan. Ini tak bisa dibiarkan. Aku menatihnya ke arah selatan. Berharap akan bertemu sosok malaikat rupawan, dalam wujud sorang tukang tambal ban. Butuh 15 menitan, dan aku segera menemukan. Kuserahkan motor pada yang bersangkutan. Beliau mengiyakan. Dan dalam tempo tiga puluh menit lebih sekian, motorku kembali bisa dijalankan. Kuberinya selembar uang dua puluh ribuan. Kupersilahkan dia ambil bila ada kembalian. Aku sedang buru-buru, kataku menjelaskan. Dan aku tidak mau kembali gagal mengajakmu berkencan.

Kembali kulindas jalan-jalan di sekitar Pancoran. Entah sudah berapa kali kulahap tikungan. Lalu kemudian tiba-tiba turun hujan. Sialan! aku tak ingat buat mempersiapkan jas hujan. Kupikir hujan sudah lewat dari zaman. Aku menepi di sebuah perempatan. Berteduh dengan beberapa pengendara yang kedinginan. Hah! tubuhku sudah kuyup dengan segala umpatan. Ya Tuhan, aku cuma ingin pergi berkencan.

Aku bersiap dengan telepon genggam di tangan. Namamu sudah tertera di layar dan tombol untuk melakukan panggilan baru saja kutekan. Kuharap kamu mau mendengarkan. Juga kembali memaafkan. Tapi sore itu benar-benar sialan. Saat aku hendak menugucap sebuah permohonan, bukan suaramu yang kudengar pelan. Justru suara seorang perempuan sialan. Suara sialan yang memberitahukan kalau pulsaku tak lagi mencukupi untuk melakukan panggilan. Sungguh aku tak habis pikir dengan cobaan Tuhan. Barangkali ini yang dinamakan dengan sial, sejak dalam pikiran.

***

"Aku masih ingat," katamu kemudian, "tapi itu bukan kutukan."

"Lalu apa? Azab dari Tuhan?" aku tak mau kalah.

Kamu lalu tertawa sebentar, kemudian berkata "Aku sudah katakan ini berulang kali. Mungkin sudah berpuluh kali malaj, sejak pertemuan pertama, sekaligus terakhir kita, tahun lalu."

"Barangkali, cinta memang tak pernah tepat waktu. Kadang-kadang kamu cuma membuatnya menghabiskan wak......"

.
.
.
.
.

Aku menutup telepon, saat kamu belum tuntas menyelesaikan kalimatmu.

Barangkali kamu tak pernah tahu, jika memang cinta benar-benar tak pernah tepat waktu, kadang-kadang kita cuma perlu bersabar menunggu. Bukan mengakhirinya, bahkan saat kita belum sempat, katakanlah, benar-benar berkencan.
"We the mortals touch the metals,
the wind, the ocean shores, the stones,
knowing they will go on, inert or burning,
and I was discovering, naming all the these things:
it was my destiny to love and say goodbye."  -- Pablo Neruda

Adios - Gale

10 komentar:

  1. gaya tulisannya makin asyik aja nih :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas bimbingannya, suhu. *berlutut*

      Hapus
  2. dan gue baca beginian di malam minggu :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. gw lebih parah, nulis beginian di malam minggu :(

      Hapus
  3. setuju dengan gita. lucu sekaligus miris nyampur aduk jadi kolak nangka. ajaib lu lih. akibat puasa nih ya?

    BalasHapus
  4. gaya tulisannya manis sekali. :D

    BalasHapus
  5. Paragraf-paragraf yang berima mantap. Bacanya bikin hap-hap. <-- rimanya jelek banget tolong diajari.
    Ngomong-ngomong, gue yang nebar paku. Gue juga yang nebar garam biar hujan. Biar akhirnya gue yang kencan sama dia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ternyata.... selama ini... elo li orang dibalik gagalnya kencan gw sama maudy ayunda??

      Hapus
  6. sukaaaa

    akan lebih mantap kalo bermain rimanya sudah dimulai sejak awal paragraf (y)

    BalasHapus